Shutterstock |
Yang mampu hidup sempurna di tengah
kegelapan adalah cahaya, seperti kau lihat dalam gelap malam. Di kota,
lampu-lampu merajalela. Berwarna-warni. Untung jika sesuai dengan selera hati. Kadang
membikin pening. Belum lagi lampu bermata merah. Menjadi semacam saklar, jika
dinyalakan akan terdengar lenguhan kecewa, umpatan, desahan murung. Mungkin itu
semua hanya sumbu bangi nyala amarah. Yang akan segera berkobar jika pengendara sudah saling lempar klakson.
Dari jalan raya kota, roda-roda
tergesa-gesa dicemeti para pengendara. Semua serba tergesa. Seperti zaman kini
yang serba tergesa dan terburu. Ah, apakah zaman yang tak punya keturunan. Yang
hidup sendiri tanpa istri. Yang tak peduli segala polah penghuninya itu
tergesa? Bukankah ia sama saja? Sejak sebelum terlahir nama Adam, sejak sebelum
tersebut picik Iblis, sejak sebelum malaikat mempunyai sayap. Zaman sama saja.
Maka cermati sejarah dari aspal yang kau
lintasi. Cermatkan penglihatanmu! Sebab para pahlawan biasanya berjaga di ujung
jalan. Ada Ir. Sukarno disana. Ada A. Yani berdiri. Ada Jendral Sudirman, kini
tak sudi hormat ia. Kepada negara berisi bangsat. Memilih setia kepada sang
saka.
Kepada pengemis di lampu merah. Lihatlah.
Dari matanya mencuat lembaran-lembaran kenyataan. Janin yang dulu
ditimang-timang dengan janji-janji politik. Sekarang berserak di jalan-jalan. Iba.
Lama-lama menjadi biasa. Hingga kepedulian macam itu punah. Lalu, siapakah
yang kan mengantarnya menikah kelak. Dalam redup kehidupan. Calon penggantin
mereka hanya kesabaran.
Deru-deru kenalpot mengasapi malam. Malam
tak lagi perawan. Gelap dan kelam yang dulu menjadi selaput daranya
koyak-katanya sih oleh zaman. Tempat permenungan raja-raja bijaksana itu sudah
menjual dirinya, kepada-katanya sih zaman. Tak ada lagi raja tersedu diselimuti
kelam karena takut mendapat laknat rakyat. Sebab kebijaksanaannya terlalu
prematur untuk mengayomi.
Jika bukan dalam kelam. Kemana lagi
kau temu wajah tuhan yang bercahaya. Kota oh kota. Kau sembunyikan Tuhan
dimana. Kapankah malam akan menjadi malam lagi. Tanpa lampu bermata merah. Tanpa
luapan amarah. Tanpa aspal-aspal yang menderukan pejalan.
Lalu siapakah ibu dari ketergesaan. Dialah
nafsu yang menjadikan gaji pokok saja terasa kurang. Maka harus kau lintas
lampu bermata merah itu. Dengan was-was. Jangan sampai mimpi-mimpi kandas. Jika
beruntung, kantong-kantongmu akan penuh dengan uang. Dan kau hanya perlu memelihara
kecemasan hingga nafas membatu sebelum sengalmu menjadi irama neraka.
0 komentar:
Posting Komentar