Ingin kulesatkan tubuhku ke kutub utara. Disana kutemu kau
sebagai beruang. Beruang telanjang bahkan tanpa bulu-bulu menempel kulit. Dalam
goa-goa bekuan es. Gigil telah menjadi teman sehari-hari. Engkau meringkuk di
pojokan. Menggigit bibir membiru. Mendekapkan keempat lenganmu. Matamu nanar
menatapku datang. Tak mampu kuawali pertemuan dengan salam. Wajahmu terlalu
suram kusiram sapaan.
“Aku datang sebagai bulu-bulu sayang. Aku datang sebagai
selimutmu.”
Sudah berapa lamakah engkau telanjang. Berpakaian kedinginan.
Mengapa tak kau panggil aku sedari dulu. Lewat speaker-speaker yang menjulang di
puncak gunung es itu. Atau kau lempar teriakan melewati samudera. Sehingga aku
bisa segera datang. Membawa segelas coklat panas untukmu. Juga membawa diriku
yang memang bulu-bulumu.
__
Gelas-gelas kosong itu berembun. Kita pandangi mentari musim
panas yang singgah beberapa menit dari balik gelas itu. Ada bulir air merekat
disana. Romantis! Bagaimana gelas menggapai lengan embun dengan lembut. Mengecup
keningnya. Dan tanpa sadar kita melakukan adegan yang serupa. Dalam rupa seekor
berung kutub kita masih bisa saling kecup. Meski hanya lewat cakar-cakar
yang mencengkeram lutut. Aku tak yakin kita punya lutut. Apa kau juga?
Sajak ini sepertinya lebih cocok menjadi dongeng. Seharusnya judulnya
bukan ‘sajak selepas kepergian’ tetapi ‘beruang yang menemukan bulunya’. Sekarang
aku menempel di kulitmu. Lalu, kemana kita akan rayakan pertemuan ini. Mencari
salmon mungkin. Itung-itung nostalgia waktu pacaran. Atau kamu ingin yang lebih
gurih? Anjing laut, singa laut, putri duyung? Kemana saja. Aku akan selalu
menyertaimu.
Ah, aku lupa izin kepada ibu sewaktu menemuimu. Mungkin sekarang
dia sedang kebingungan mencariku. Apa kau mau kuajak pulang? Sebagai seekor
beruang? Sebab kita tak mungkin berpisah lagi. Maka aku minta persetujuanmu
untuk itu.
nyimak aja, baru mampir
BalasHapus