Kopi. Sayang
dia tak suka kopi. Di lebih menyukai teh daripada teman karibku itu. Pernah satu
kali kubuatkan secangkir untuknya. Ia hanya meminum setengahnya. Itu juga
terlihat memaksakan diri. Mungkin ia sungkan padaku. Tentu kubatalkan niatku untuk menembaknya dengan romantis seperti tips seorang teman dengan membuat tulisan I Love You di dasar cangkir. Tidak bisa kulakukan pada cangkir teh.
Bisa-bisa malah menjadi konyol sebab ia bisa mengintipnya bahkan sebelum
menyruput.
Jelas aku
tak bisa memaksanya untuk menyukai kopi. Dia bisa ilfil padaku, misalnya jika kuagungkan
kopi di di depannya dengan menjelaskan kelebihan-kelebihan kopi dengan berbagai
teori dan pendapat para ahli.
Aku pernah
mendengar pendapat seorang perempuan bahwa lelaki paling nikmat adalah lelaki
kopi. Sayangnya hal itu tak belaku bagiku. Bagiku dia tetap perempuan paling
nikmat, meskipun dia bukan perempuan kopi.
Sikapnya tak
memang tak seperti kopi. Dia tidak bak-blakan dan tak suram. Dia jernih dan tak
hitam. Dia manis dan sama sekali tidak pahit.
Aku harus
mencari cara lain untuk menyatakan cinta padanya, meskipun aku tahu, dia tahu
perasaanku padanya. Dan aku juga tahu, dia suka padaku.
Ini hanya
hanya soal pengakuan yang diminta perasaan untuk melegalkan hubungan yang lebih
cair. Meskipun kuakui, tanpa mengatakannya padanya pun aku sudah merasa nyaman
bersamanya. Masalahnya apakah cinta memang harus diungkapkan dengan kata-kata. Kadang
aku jengkel terhadap kenyataan macam itu. Cinta menjadi kerdil jika
diungkapkan, meskipun di sisi lain hal itu menjadi sebuah keharusan yang tak
pernah disepakati.
“Masih tak suka
kopi?”
Dia tersenyum
manis sekali. Menggugurkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang sudah kususun
rapi.
“Kau ingin
aku menyukai teman karibmu itu?”
Masih sambil
tersenyum ia lontarkan pertanyaan itu padaku, dengan matanya, ia menembakku
tepat di mata. Membuatku buru-buru menunduk.
“Terserah
kau, aku hanya bertanya”
Aku menjawab
datar.
Oh, bisakah
kau copot sebentar wajah tersenyummu itu. Ganti dengan wajahmu yang normal. Kau
tahu, hal itu mengutukku menjadi patung.
“Aku suka,
kok”
“Bener?”
“Ya, aku
suka filosofinya yang kau katakan padaku itu. Kalau kopinya? Masih sama seperti
lusa”
Kali ini dia
sudah mengganti wajah senyumnya itu dengan wajah normal. Aku menjadi manusia
lagi, setelah sebelumnya dikutuk menjadi patung.
“Oh, kirain”
Kali ini aku
yang tersenyum.
__
Itu percakapan
terakhirku dengannya sebagai seorang manusia dan patung. Sepulangnya dari cafe
itu, sebuah sedan menghantamku di zebra cross. Membuatku menjadi hantu. Aku tak
tega menceritakan nasib tubuh yang kupakai ketika menjadi manusia dulu. Hari Diana
jasad manusiaku dikuburkan, dia datang sambil menangis. Orang-orang menburkan
bunga-bunga diatas kuburan jasadku. Tapi dia tidak, dia menaburkan kopi. Air matanya
yang jatuh seakan menyeduh taburan kopinya. Sebelum pulang, dia berusaha tersenyum
dalam tangisnya. Kau tahu, masih sama manisnya seperti saat aku menjadi
manusia. Tapi sudah tak bisa mengutukku menjadi patung.
Menyakitkan ketika
perasaanku tak ikut menjadi hantu. Menyakitkan ketika tak bisa kuusap air
matanya. Menyakitkan ketika melihatnya masih sering menagis di meja paling
pojok cafe langganan kita dulu. Menyakitkan...
Dan pada
akhirnya, kunyatakan cinta padanya lewat kematian yang lebih pekat dan lebih
hitam dibanding kopi dalam cangkirku.
kowe gae crito jian riil tenan cok..asem
BalasHapus