Sore itu,
kuberi pelajaran metafora kepada kawan-kawanku yang berusia teka dan esde.
Mereka begitu kagum dengan kata-kata ini. Ketika kuminta membuat
metafora-metaforanya sendiri, dengan sumringah mereka mencobanya. Hei, jangan
curiga dulu, aku bukan sedang mengajari mereka cara menggombal.
“Hatimu seperti
mawar yang mekar”
“Kepalamu
benjol-benjol bagai Hellboy”
Lalu kusambung
dengan kata-kata,
“Dimatamu
kulihat seribu kupu-kupu” yang lantas
membuat mereka nyungsep. Ya, mereka nyungsep.
“Halahhhhh,
Cak.... bikin keinget nih....”mereka berteriak nyaris berbarengan.
Buset! Keinget
apa nih!
“Keinget yang
di sekolah” kata si Putut.
Hati ini memang
bagai terpahat, ketika perasaan kepada seseorang amat besar dan spesial. Tak ubahnya kayu di tangan pemahat-pemahat
Jepara. Yang tadinya kayu ungkul lantas jadi berbentuk, berliuk-liuk. Dan
anak-anak itu, apa benar mereka yang belum bisa mengenali dirinya sendiri
sepenuhnya itu sudah mengerti apa itu cinta?
Seminggu lalu,
dalam diam kurenggeng-renggeng puisi di hati yang belum sempat kutuliskan dan
akhirnya terlupa. Tentang cinta semenjak bayi, tentang cinta semenjak
kanak-kanak. Belum bisa kutuntaskan pencarianku tentang cinta. Mestinya kugali
dan kucari dari sumber utama yang tragisnya justru sering terlupa. Sumber utama
itu adalah Tuhan. Ia memperkanalkan dirinya kepada makhluknya dengan cinta,
maka di dalam bismillah Tuhan menampakkan dirinya dengan dzat Rahman-Rahim,
bukan selainnya. Allah mengedepankan cinta, bukannya Mutakabbir, bukannnya
Qohhar, juga bukan Jabbar.
Semesta pun
tercipta lantaran cinta. Kepada kekasihnya, Nur Muhammad, Alloh berkata,
Laulaka (Ya
Muhammad), Lamma Kholaqul Aflaq...
Kalau bukan
karena cintaku kepadamu wahai Muhammad, tak
kuciptakan semesta ini, kata Alloh.
Di dalam lafadz
salam assalamualaikum, terdapat janji cinta antara pengucap dan penjawab. Janji
untuk saling menjaga serta memberikan rasa aman. Keselamatan atasmu...
Maka inilah
cinta itu. Ikrar untuk saling memberikan rasa aman. Rasa aman yang menyeluruh,
ya raganya, ya jiwanya, ya hatinya, ya semua-mua. Maka maafkan aku kekasih,
meskipun terlalu banyak maaf katamu tidak asyik. Maafkan aku karena dari salam
yang amat akrab dalam kebudayaan hidup kita, baru kutemukan makna cinta.
Kata-kata maaf memang akan terasa memuakkan jika ia hanya sekedar kata-kata
tanpa kesugguhan menjalaninya. Itulah kenapa, sebaiknya aku mulai belajar diam
dan tidak gampang-gampang berkata ini itu, sebab kesungguhan sukar dicapai
sambil cengengesan.
Ternyata Allah
juga Mahametafora ketika berkata,
“Aku ini lapar,
kau tidak memberiku makan. Aku ini sakit, kau tidak menjengukku. Aku ini
kesepian, kau tidak menyapaku….”
Betapa Allah
senantisa menjebak hamba-hambanya untuk tidak punya kemungkinan lain selain
menyatu dengan cintanya. Allah memisalkan dirinya sebagai manusia, sebagai
kawan kita yang sedang sakit dan kesepian. Sebab ketika kita mengekspresikan
cinta dengan menjenguk kawan kita itu, Allah berkata “akan kau tenemukan Aku
disisinya.”
Betapa
romantisnya Alloh. betapa pengasihnya Ia. Sampai seperti itu Ia menginginkan
hamba-hambanya mengenal cintaNYA. Sampai sejauh itu Ia sebagai Tuhan
“berkorkan” demi hamba-hambanya berhambur menuju pelukNYA.
Suatu saat
ketika fajar hendak merekah, oleh Alloh ditahan sebab masih ada satu hambanya
yang belum rampung berdoa. Sebab Alloh telah menawarkarkan; adakah seseorang
yang menginginkan sesuatu dariku? Adakah yang hendak menyampaikan keinginannya
atau menyampaikan penyesalannya hingga aku berkenan mengabulkan &
mengampuninya penyesalannya karena amat melimpahnya cinta yang kumiliki?
Si hamba
kesulitan berdoa, terbata-bata ia mengingat doa-doa yang pernah didengarnya.
Fajar masih ditindih Malaikat Jibril dengan sayapnya. Si hamba menunduk, air
matanya mengalir dan sengguknya tak henti-henti. Lantas lelaki itu mengangkat
tangannya, kemudian berdoa sugguh-sungguh,
“Kana rojulun
yadlribu kalbun... ya Alloh....”
Hanya itu yang
diucapkannya. Tetapi sedikitpun tak terbersit keraguan di hatinya. Alloh
tersenyum mendengar doa tersebut. Alloh mengetahui krenték hati si hamba dan Ia
mengabulkannya.
0 komentar:
Posting Komentar