Setelah semua terasa begitu lamban berjalan seperti
jalannya siput yang keseleo. Jarak kita, kini tiba-tiba tinggal sejengkal. Dan
dekapan yang dulu pernah memamah rindu menjadi selembut embun kini sedikit
melonggar dan menemukan bentuknya yang lain. Kalau kuhitung-hitung, rasanya
umurku belum beranjak dari duapuluh tahun. Rasanya ucapan perpisahan menjelang
terbang dulu, baru kemarin terjadi. Lalu, puisi pertama setelah kakimu tak lagi
memijak tanah kelahiran melekat di ingatan kepala. Kau masih ingat, waktu
pertama kali bisa saling berkabar denganku atau keluargamu? Kau masih ingat,
ceritamu bahwa kau menangis di kamar dalam kesepian pada hari-hari pertama
selepas tiba?
Kalaupun aku bisa membohongi perasaanku, tak akan kutunggu
begitu lama untuk mengatakannya. Akupun tak curiga, tak pernah, bahwa
yang kau lakukan adalah kepura-puraan. Hanya ada ketulusan yang kadang tak bisa
kau tahan dari tekanan yang kuberikan bertubi-tubi sebab aku kesulitan
menemukan pengertian diantara kita. Aku kesulitan menempatkan ketulusanmu di
wadah yang bahan bakunya sama, ketulusan.
Penyesalan kadang seperti peluru yang melesat, mataku
tak bisa menangkapnya dan tiba-tiba kaki berkubang darah. Dada berlobang. Mata
hanya menemukan kekosongan. Sesaat kemudian gelap menerkam dengan cara paling
menakutkan.
Tinggal hitungan hari, kau akan kembali. Pulang. Namun
tak ke hati ini. Pergi -kusebut begitu karena aku tak cukup kaya kosakata untuk
merumuskannya- menjadi pilihan paling bijak ketika engkau punya kesempatan saat
suatu ketika berada di tengah-tengah rawa yang setiap saat bisa
menghisapmu sampai tandas. Rawa-rawa itu melolong tangis tiap malam hingga
terbitnya fajar.
Menjadi biasa, ternyata tidak bisa kulakukan dengan
cara yang biasa. Ada sesuatu yang mesti kutekan dalam-dalam. Sesuatu lain mesti
kusembunyikan dari siapapun agar tidak punya kesempatan untuk menularkan
bisik-bisik hingga nanti mungkin akan sampai ke telinganmu. Dan, ada sesuatu
yang perlahan-lahan harus mulai kulatih untuk kubuang dan kutinggal. Agar
langkah-langkahku tak nyangkut batu-batu kedunguan masa silam.
Pada akhirnya, aku tetap mendamba menatap matamu.
Menikmati senyummu.
0 komentar:
Posting Komentar