Memikirkan cara tak memikirkanmu, memaksaku
memikirkanmu sedemikian rupa agar fikiran tentangmu tak hadir dalam setiap
pikiranku tentangmu.
Dua Juni. Pagi hari. Belum bikin kopi ketika pikiranku
diseruput terus-menerus oleh ingatan tentangmu. Sebentar lagi puasa, puasa
rinduku sudah berlangsung cukup lama. Sebentar lagi hari raya, kerinduan kepada
sanak keluarga segera menemukan puncaknya. Sementara rinduku kepadanya akan
semakin panjang dan berlarut-larut. Sampai senja terakhir ketika tak lagi
berwarna merah. Kerinduan membuatnya sewarna darah.
Kita pernah menikmati purnama bersama dari tempat berbeda. Membayangkan
seakan-akan kita saling menatap mata dan saling mengerling. Jarak jadi seperti kasur
yang dijual di pasar-pasar; bisa dilipat. Dan seakan-akan kita cuma dipisahkan
keraguan untuk saling berdekapan. Hoalah, kanak-kanak! Mata
kanak-kanakmu berjingkat-jingkat memandangku. Akupun berjingkat. Jingkrak-jingkrak
malah.
Alangkah sepi kehidupan tanpa penantian dan kerinduan. Alangkah
sengsara hidup tanpa rasa cemburu. Penantian yang ditimang-timang kesabaran. Kerinduan
yang mengerti batasan-batasan. Cemburu yang dituntun cahaya.
0 komentar:
Posting Komentar