Sudrun nggegeri untuk ikut audisi X
factor Indonesia, setelah meyaksikan peserta-peserta audisi yang suaranya ngeclep banget. Hari ini juga dia ngajak
saya mbolang ke Jakarta, hanya berbekal uang duapuluh ribu, hasil kerja
serabutan. Sialnya kantong saya juga lagi kering, cuma ada uang lima ribuan
yang sudah lecek. Tapi bukan arek suroboyo namanya kalau nggak nekat. Dengan
uang pas-pasan dan tak lupa bismillah, kami berangkat ke Jakarta. Lewat jalur
gelap tentunya. Atap kereta.
Sebenarnya saya agak
terkejut juga waktu Sudrun ngajakin buat ikutan audisi X Factor Indonesia,
habis waktu awal-awal acara ini dibuat dia sudah ngedumel nggak karuan “bisa
bikin acara sendiri nggak sih, masak tiap luar negeri buat acara,
eh kita langsung ikut-ikutan buat. Dasar mental bebek!” Masih menurut
Sudrun, juri-jurinya tidak kompitabel, komen-komennya nggak mutu.
Yayaya, Sudrun memang orang yang nggak bisa ditebak. Hari ini dia baik banget, besok bisa sebaliknya, ngeselin banget. Hari ini suka sama sesuatu, besok udah maki-maki sesuatu yang kemarin ia suka itu. Terus terang saya nggak begitu peduli, apa alasan Sudrun balik kucing jadi pingin ikutan audisi. Sengaja nggak saya tanyakan, saya sudah tahu seperti apa jawabannya “udah, nggak usah banyak nanya”.
Oh satu lagi, ini hal yang paling penting yang seharusnya saya tanyakan kepadanya sebelum berangkat ke Jakarta, dia bisa nyanyi nggak? Hmm, belum pernah saya lihat Sudrun menyanyi.
Yayaya, Sudrun memang orang yang nggak bisa ditebak. Hari ini dia baik banget, besok bisa sebaliknya, ngeselin banget. Hari ini suka sama sesuatu, besok udah maki-maki sesuatu yang kemarin ia suka itu. Terus terang saya nggak begitu peduli, apa alasan Sudrun balik kucing jadi pingin ikutan audisi. Sengaja nggak saya tanyakan, saya sudah tahu seperti apa jawabannya “udah, nggak usah banyak nanya”.
Oh satu lagi, ini hal yang paling penting yang seharusnya saya tanyakan kepadanya sebelum berangkat ke Jakarta, dia bisa nyanyi nggak? Hmm, belum pernah saya lihat Sudrun menyanyi.
***
Kereta melaju dengan
takaran normalnya. Perjalanan kami sudah separuh jalan. Langit mendung diatas
selalu menjadi favorit kami ketika mbolang gelap seperti ini.
“Din, kamu tahu alasan
saya ingin ikutan audisi kan?” Eh, sadar juga nih orang, kalau dari tadi saya
nahan penasaran.
“Nggak!”
“Karena Cinta” Ia
berkata dengan cengengesan.
“Jancuk! Maksudnya?”
“Nanti aja jelasinnya.
Hehehe…”
“…………………………………………..”
Akhirnya kami sampai di
Jakarta, setelah tanya sana-sini, kami sampai juga di lokasi. Sudrun langsung
daftar dan saya tidak, setelah itu kami harus antre berjam-jam. Uang kami masih
utuh, hebat bukan? Sekarang waktunya ngasih makan naga di perut yang sudah
teriak2 dari tadi.
Tiba juga waktunya,
Sudrun dipanggil buat naik panggung, dengan langkah penuh keyakinan ia berjalan
menuju panggung, masih sambil cengengesan ia menatapku, lalu mengacungkan
jempol kepadaku, persis seperti naruto. Ia sudah berada dipanggung, diam,
tidak ada kata sapaan. Para Juri pun sama. Mata para penonton memperlihatkan
ketidaksenangan.
“Namanya siapa mas?”
akhirnya suara Mas Dhoni memecah suasana yang sudah membeku beberapa detik.
“Sudrun, dari Surabaya
mas!”
“Yakin nih mau ikutan
audisi?” Mbak Rossi yang sekarang berjilbab, bertanya dengan nada yang aneh,
entah maksudnya apa. Dan seperti biasa, Sudrun cuma cengengesan. Sementara satu
juri lagi, Mas Bebe, cuma diam saja sambil matanya melotot. Entah benar-benar
melotot atau tidak, barangkali cuma perasaanku saja.
Saya kira Sudrun akan
langsung diminta menyanyi, eh Mas Dhoni bertanya lagi kepadanya.
“Motivasinya apa mas kok
pingin ikutan audisi?”
Sudrun clingak-clinguk, sepertinya dia bingung.
Mas Dhoni kemudian bertanya lagi.
“Mas Sudrun nggak
paham kata-kata saya?” Sudrun menggeleng. Penonton tertawa mengejek, juga
mas-mas tinggi di sebelahku yang berusaha menahan tawanya. Ya, mas-mas pembawa
acara ini berusaha menjaga perasaan seorang teman yang temannya sedang
ditertawakan. Mas Bebe yang dari tadi diam langsung nyahut.
“Motivasi aja nggak
paham kok mau ikutan audisi, jangan2 nggak paham juga, apa itu audisi”. Sekali
lagi, penonton tertawa. Kali ini lebih terbahak.
Wajah Sudrun yang dari
tadi cengengesan berubah serius, membuat penonton diam, kemudian dengan serak
ia berkata .
“Saya ikutan audisi ini
bukan karena apa-apa. Saya ikut karena saya cinta sama Indonesia, saya bangga
bisa menjadi bagian dari Indonesia.”
Para juri dan penonton
mengeryitkan dahi mereka masing-masing, sama halnya denganku.
“Saya sebenarnya muak
dengan acara-acara tiruan macam ini. Kita ini kok seperti nggak punya kreatipitas saja” medoknya Sudrun
mulai keliatan.
Saya nggak ngerti apa
yang sebenarnya terjadi. Semua yang ada di studio diam. Khusuk, seperti pertapa
yang sudah ratusan tahun bertapa. Tapi kemudian Mas Dhoni berkata dengan
gayanya yang tengil .
“Udah pidatonya?
Langsung nyanyi aja deh, mau nyanyi lagu apa?”
“Hotel California dari
Eagles!!!” jawab Sudrun mantab. Aku terkaget-kaget mendengarnya. Motivasi aja
nggak ngerti artinya, eh dia malah mau nyanyi lagu bahasa inggris lagi. Oh ya,
saya lupa bilang kalau Sudrun juga bawa gitar akustik, katanya sih warisan dari
neneknya.
“Serius” lagi-lagi Mbak
Rossi bertanya dengan nada aneh. Penonton pun bersiap menertawakan manusia
bernama Sudrun ini.
“Yuk mari…” Mas Dhoni
langsung menyela.
Lampu panggung meredup
ketika Sudrun mulai memetik senar gitarnya. Sekali lagi, Sudrun membuatku
terkejut. Petikan gitarnya bener-bener sempurna. Saya seperti mendengar petikan Joe Walsh digabung dengan sentuhan
Eric Clapton serta power dari Slash. Ini dia saat yang ditunggu-tunggu, intro
sudah hampir selesai dan…
“On
a dark desert highway, cool wind in my hair
Warm
smell of colitas, rising up through the air
Up
ahead in the distance, I saw a shimmering light
My
head grew heavy and my sight grew dim…”
Jancukkkk!!! Keren. Bener-bener nggak
nyangka.
“Welcome
to the Hotel California
Such
a lovely place (Such a lovely place)
Such
a lovely face
Plenty
of room at the Hotel California
Any
time of year (Any time of year)
You
can find it here…”
Para penonton terhanyut
penampilan “mejik”nya Sudrun, tanpa sadar mereka ikut bernyanyi. Mas Dhoni
senyam-senyum. Mbak Rosi? saya tak bisa menggambarkan seperti apa ekspresinya,
dia terlihat seperti langsung ingin eek setelah menyaksikan penampilan Sudrun,
saking nggak nyangkanya. Mas Bebe? Just so so. Biasa-biasa wae, tapi
keterkejutannya tak bisa di sembunyikan.
“Jrenggg…” Hotel
California pun berakhir dengan petikan lembut dari Sudrun. Riuh tepuk tangan
penonton memenuhi studio. Anehnya, Sudrun sama sekali nggak terpengaruh sama
suasana, wajahnya masih sama seperti sebelum ia menyanyi. Serius.
“Well… saya nggak…”
“Nggak usah basa-basi
deh mas, mbak juri” Mas Bebe yang sepertinya mau komentar langsung dipotong
oleh Sudrun.
“Dari awal saya sudah
tau dari wajah-wajah sampean kalau sampean ngeremehno. Saya ikutan audisi nggak
ada niatan buat jadi artis kok, kalaupun sampean ngelolosno saya itu kan karena
kesan sesaat saja. Saya tahu, wajah saya ini nggak marketebel, sedangkan sekarang yang
disukai orang kan yang wajahnya ganteng-ganteng dan cantik-cantik, orang
seperti saya ini mana laku di dunia hiburan”.
Mulut Sudrun seperti silet yang nggak kuat
ngebendung eek. Brol. Saya juga baru menyadari penampilannya malam ini. Betul,
ia sama sekali nggak cocok untuk dijual di tivi. Celana jeans yang sudah sobek
sana-sini, kaos hitam polos yang lusuh, serta rambut gondrong yang nggak pernah
di keramasi, kecuali kalau rumahnya kebanjiran. Dari segi fisik pun begitu,
mungkin kaki pincang Sudrun bisa sedikit dijadikan “drama” untuk menaikkan
rating, tapi wajahnya yang selalu terlihat menjengkelkan dengan salah satu
sudut mulutnya yang selalu mengeluarkan air liur barangkali akan membuat juri
berfikir dua kali untuk meloloskannya, meskipun ia mempunyai bakat istimewa
dalam menyanyi. Kalau toh pun ia lolos, petualangannya di dunia hiburan takkan
lama.
“Manusia sekarang ini
terlalu mengagung-agungkan wadak, mereka selalu menilai
apapun dari luarnya saja. Mereka mudah meremahkan sesuatu yang mereka lihat
“nggak bagus” dengan bola matanya. Mereka tidak bisa melihat lebih dalam kepada
sesuatu. Rohani mereka sakit.”
“Heh” Mas Dhoni mencoba
menyela Sudrun.
“…………………………………………………………”
Tiba-tiba mikropon mati,
lampu panggung padam. Suara Sudrun menghilang. Para juri dan penonton sudah
tidak ada ditempat, semua terjadi begitu cepat. Sementara wartawan dari
berbagai media massa bergegas menghampiri Sudrun. Tapi percuma, Sudrun sudah
tidak bicara lagi. Ia ngeloyor pergi, tanpa memerhatikan para wartawan yang
sibuk meliputnya. Aku berlari menghampirinya. Tanpa berkata apa-apa dia menarik
tanganku. Keluar dari Studio.
***
Diatas kereta menuju
Surabaya, kami berbincang kecil mengenai masalah kemarin malam.
“Drun, saya nggak
nyangka kamu bisa bernyanyi sekeren itu. Sebenarnya kamu bisa lolos kalau nggak
usah pakai acara ceramah segala. Lagian kamu aneh-aneh aja sih.
“Goblok kamu, tak kira
kamu sudah tahu kalau aku lipsing, Mas-mas yang tugasnya nyalain musik itu
sudah tak kasih samsu satu pak. Tak suruh ngeplai musik yang ada lagunya.”
“Asssu, kok bisa begitu? Trus
kamu ngasihnya kapan, aku kok gak ruh?” Sekali lagi, orang bernama Sudrun ini
membuatku terkejut, aku ingin sekali mengencingi wajahnya.
“Pas kamu ke ponten tadi. Saya guyon sama dia, eh nggak
taunya dia dulu Bonek, tinggal di daerah Tambaksari situ sebelum pindah ke
Jakarta. Jadi beres deh urusannya. Lagian apa nggak pada merhatiin ya, kalau
gitarku ini sinarnya cuma satu. Hahahaha” Bener-bener bikin orang ilfil.
“Oh,
mbokne ancuk ancene, tapi kok bisa pas gitu Drun?
“Kalau itu rahasia rek!” Cengengesan lagi.
***
Perbincangan kami
berakhir di Stasiun Gubeng. Kami turun, lalu berpisah. Waktu mau berangkat ke
Jakarta Sudrun pernah bilang bahwa alasannya ikut audisi adalah “cinta”.
Akhirnya ia menjelaskan maksudnya waktu perjalanan pulang. Katanya, ia benci
ketika manusia memandang manusia lainnya dengan pandangan meremehkan dan
merendahkan. Apalagi meyinggung soal kekurangan fisik. Ia ingin para juri sadar
bahwa posisi sebagai juri tidak berarti mereka berhak mengobok-obok sisi
kemanusian mereka-mereka yang “gagal” dalam pandangan para juri. *Ironisnya
(*Sudrun sangat kesulitan mengatakan ini) kegagalan mereka-mereka ini justru
dijadikan bahan tertawaan.
Manusia Indonesia
mempunyai daya tahan yang “aneh”. Mereka yang ditertawakan nggakmangkel. Mereka yang
menertawakan nggak ngerasa kalau perbuatan mereka telah meruntuhkan sisi
kemanusian mereka. Entah ini sesuatu yang menggembirakan atau menyedihkan. Kita
jangan melihat seseorang dari sudut pandang yang lain kecuali kemanusian,
niscaya kita tidak akan pernah meremehkan dan merendahkan seseorang.
Yah, namanya juga ajang
cari bakat, pastilah akan menyisihkan sebagian orang-orang “gagal” untuk
meyebut sebagian yang lainnya berbakat. Soal bakat menyai orang Indonesia.
Tanpa sedikitpun keraguan, kitalah yang nomor satu. Pengamen-pengamen di bis
kota lancar meyanyikan “Wind of Change”nya Scorpions. Anak-anak SD sudah bisangeplek sama Suju. Coba sekarang
cari penyayi barat yang bisa menyayikan lagunya Dewa 19 -misalnya- tapi enak
untuk didengar, atau “Stasiun Balapan”nya Didi Kempot. 1000% yakin nggak ada
yang bisa. Lidah orang Indonesia ini istimewa, mereka bisa menyanyikan lagu
dengan lirik bahasa inggris, mandarin, korea, jepang dll, tanpa tahu apa
artinya. Namun jika kembali ke masalah kreativitas, kita miskin. Sebenarnya sih
nggak miskin-miskin amat, cuman mental kita aja yang sudah terlalu ndlosor untuk percaya pada
kemampuan sendiri.
“Dinnnnnnnnnnnnnnnn….”
“Lho, Drun?”
“Sini uang duapuluh ribu
ku!”
“Raimu
lak ambek duwe ae gak isok lali”
“Hehehehe”.
*nggegeri - tergesa-gesa mengajak
mbolang - berpetualang
gak ruh- nggak tahu
kreatipitas - kreatifitas
ngeremehno - meremahkan
ngelolosno - meloloskan
marketebel - marketable (menjual)
silet - dubur
wadak - kulit, bungkus, wadah
samsu - rokok merek dji sam soe
ponten - toilet
guyon - bergurau
mangkel - dongkol, marah
ngeplek - persis
ndlosor - jatuh
raimu lak ambek duwe ae gak isok lali - mukamu, kalau sama
uang aja nggak bisa lupa
ooooo gitu ya, aku juga bisa kalo lypsinchronisation drun
BalasHapusasu....jian cerpenmu iku garai kudu nguampleng...
BalasHapusjos tenan pokok'e