Jika dulu sebab
kesabaranku, lantas kini ketergesaan, maka cinta yang mana yang sesungguhnya. Kalau
kesabaran hanya berbuah kepalsuan yang amat lama nggendon di batinku
sampai-sampai kusangka sungguhan, lantas apa yang kuharapkan dari ketergesaan? Tentulah
keterjerumusan dalam kesedihan yang lebih dalam dan dalam. Hanya ada kehampaan
yang membentang di jalan yang telapak kakiku telah menginjaknya selangkah. Jika kulanjutkan
maka tenggelam aku seluruhnya. Sepenuhnya.
Tak bisa
kupahami diriku sendiri sampai-sampai aku mengetahuinya dari orang lain? Dimana
letak ketergesaanku sampai disebutnya ngebet. Sikap merendah yang keterlaluan
kadang terlihat lebih memaksa dibanding kata-kata paling memaksa. Dan sudah
sejak lampau aku merendah meski sering juga dikatainya keras kepala. Adalah dua
hal yang membuatnya lelah.
Aku hanya ingin
bermesraan dengan kesedihanku saat ini dan kutekan-tekan harapan sekuat-kuatnya
agar tak berkuasa atas segala ucap dan sikap. Tapi alangkah tak sesederhana
itu. Kenapa masih dirisaukannya aku yang sudah tak punya harapan sebab
kesedihanku sedikit mengusiknya hingga menjadikannya kawatir. Entah kawatir jenis apa.
Aku mengerti
diriku sekarang ini bernilai bagai apa. Aku mengerti usahaku yang norak akan
juga terbentur tembok-tembok tua yang ditumbuhi rerumputan di bagian bawahnya. Terbentur
sampai terpecah, terbelah. Aku tau langkahku mungkin bakal tak berarti apa-apa.
Tapi aku tak hendak berenti karena semua itu. Kalau hari ini masih bernilai
batu dan belum mutiara maka akan kuperbaiki lagi, akan kugali gunung-gunung
kesungguhan untuk menemukan yaqut atau zabarjut. Kalau lusa masih terbentur
juga usaha-usaha norakku, akan kudandani selayaknya pemuda yang siap melamar
pacarnya, dengan kemeja terbaik serta celana setelan yang pas. Dan, setelahnya
jika langkah masih belum berarti. Akan kubukai kamus-kamus kehidupan untuk
menemukan arti dan tafsirnya sekaligus.
Jika
mencintaimu saja yang kepada harapan telah kuhunuskan pedang, masih juga
merisaukanmu, apakah harus kuhunuskan pedang ke leherku?
Kalau bicaraku
masih seperti teks-teks yang ditulis oleh penyair-penyair di gang-gang kampung
dengan tingkat obsesi yang mengenaskan, maka, dalam diam, ijinkanlah aku
menafakkurinya lagi. Dalam sunyi yang engkau tak akan mengenali suaraku lagi.
0 komentar:
Posting Komentar