Aku masih terus
menerus tersedak ingatan tentangmu, ketika kutarik nafas lalu memandang langit
malam penuh ketenangan. Ada gerak seirama hatiku pada awan. Goresan putih
bergerak perlahan, melukiskan tujuan yang tak mempunyai arah. Bintang di langit
kota pucat, hanya beberapa biji yang bersinar terang. Angin musim kemarau yang
dingin, menggigilkan burung-burung bersangkar yang hanya mengenal makanan dan
kicau.
Kupikir aku
bisa maju selangkah, ketika genggaman di tanganku merenggang kemudian terlepas,
kusadari waktu jadi berhenti dan aku berjalan di tempat membayangkan melintasi
gersang menuju rerumpun hijau di atas bukit. Pengalihan seperti apapun yang
kucoba, hanya menegaskan kegelisahanku. Karena lelah membohongi diri, aku
berhenti bersandiwara dengan melepas topeng-topeng.
Terlalu banyak
yang mengantri untuk aku tuliskan tentangmu. Dulu kukenal kenangan hanya
sebatas kata-kata, berwajah biasa, tak ada istimewanya. Sekarang, aku tahu
bahwa kenangan bisa berwajah garang, tangannya menggenggam parang, bicaranya
kasar dan menyakitkan. Lain waktu ia berwajah gadis sendu, tatapannya adalah
misteri, senyumnya menenggelamkanku dalam dugaaan-dugaan yang tak pernah
selesai.
Aku bisa
mengukur cintaku, dengan rasa sakit yang aku derita. Ketika rasa sakit tak
tertahankan lantas berair mata batinku, aku tersenyum, ternyata aku bisa
memiliki perasaan sedalam itu, ternyata aku tidak berbohong telah mencintainya.
Terhadap diriku sendiri, aku merasa telah jujur.
Kalau harus
memilih antara jatuh cinta lantas tersungkur dalam kubangan kesedihan dengan
tak pernah berani mencintai, aku memilih yang pertama. Sedangkal apapun
pemahaman tentang cinta yang aku dapatkan, aku telah mendapat sesuatu yang
semoga bisa membuat langkahku menemukan pijakan lagi.
Sebab waktu
berhenti, sebab kenangan wajahnya beribu-ribu ekspresi, sebab kepala dipenuhi
namanya, senyumnya, tawanya, marahnya, kecewanya, sedihnya...
Belum bisa
kuakhiri tulisan ini...
0 komentar:
Posting Komentar