Setiap hari kuulang-ulang ingatanku
agar tidak tiba-tiba lupa lantas kesulitan mengingatnya, tentang angin yang
katanya bisa ditunggangi, tentang waktu yang tak mungkin bisa dikangkangi. Tentang
hal-hal yang tak penting, sama tak pentingnya dengan setetes hujan diantara
jutaan tetes lainnya yang jatuh diatas genting. Sebagaimana riwayat raja-raja
yang ditulis dengan tinta emas dengan ilustrasi kelas wahid, aku menulis
sesuatu dalam benakku, dengan darah dan urat-uratku. Kugambar wajah seseorang
dengan ingatan utuh yang tak kuperkenankan hilang secuil pun. Dari fajar sampai
senja, dari senja sampai fajar kedua tiba, tak selesai-selesai gambarku. Sementara
darah darahku tinggal semangkuk lagi, dan urat-uratku hampir-hampir berkarat. Aku
pandangi nafasku yang kadang serupa bunga, lain waktu seperti kupu-kupu,
beberapa saat berselang, seperti perempuan telanjang. Aku mendongak dan
menemukan bulan tertambat di sebelah barat langit. Ini tanggal muda, bulatnya
belum sempurna. Seperti kedewasaanku yang belum sempurna, barangkali masih
seperti bulan sabit, terlalu sering mengeluh sakit. Lukisan wajahnya yang tak
jadi-jadi itu menatapku dengan dua bola matanya yang telah selesai kugambar,
dua bola mata yang telah lama tak kutumbuk dengan pandangan, dua bola mata yang
mencegahku dari kantuk selepas tengah malam. Pachelbel’s Canon mengalun,
aku dituntun menuju lorong waktu. Dimana bisa kulihat masa depan yang berkabut.
Begitu pekatnya kabut masa depan, sampai-sampai kabut menjadi satu-satunya yang
kuyakini ada, selainnya hanyalah prasangka. Jadi benar, masa depan adalah
negeri kabut dimana peristiwa yang terjadi disana hanya bisa dilamunkan dan
dibayangkan. Namun begitu, kakiku butuh pijakan untuk menyusuri negeri itu,
masa lalu bersedia menjadi alas kaki, bersedia melindungi dari kemungkinan luka
yang mengancam. Masa silam menjadi kapal selam menyelami samudera kelam. Oi,
kemana tadi kuasku? Tertinggal disaku celana. Ujung-ujungnya masih berwarna
darah. Lebih merah dari warna senja musim kemarau tengah tahun. Lebih merah
dari jerit rusa kesakitan di mulut harimau. Lebih merah dariku, dari darahku. Meskipun
itu darahku. Tak ada kopi pagi hari. Ini bulan puasa. Kopi Cuma kadang-kadang
menyapa. Kalau tak lupa dan tak malas bikinnya. Pada hitam warnanya, kopi,
serupa masa depan dengan kabutnya. Kopi, serupa gulitanya dengan prasangka.
Litaskunu Fii Maiyah, Menemukan Ketentraman di Maiyah
1 hari yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar