Betapa hutang syukurku
kepadamu menumpuk dan sepanjang usiaku tak akan pernah lunas, tapi masih senantiasa kukeluhkan apa saja yang kurasai tak
mengenakkan hidup. Setelah semua yang kau berikan, aku lebih sering menjadi
penghianat ketimbang pengabdi yang tahu diri. Syukur membukakan pintu-pintu
ilmu yang jumlahnya tak terkira, menuntunku mencecap manis yang tak bisa
diutarakan karena manisnya yang teramat.
Sementara, aku
tahu, mengeluhkan kehidupan menjadikanku terjungkal dan semakin terpuruk. Terkadang
aku tertipu diriku sendiri, kuberi pakaian yang indah-indah kepada keluh. Sampai
aku lupa menyangkanya sebagai keluh dan
memaklumkannya sebagai kawan. Kujamu dia dengan hidangan-hidangan yang bisa ia
nikmati sepuasanya. Sampai ketika aku tersuruk dengan tiba-tiba ke dalam
derita, ada yang tertawa amat keras, menertawakanku tolol, tak pandai-pandai ini.
Wahai, cahaya
di atas cahaya, kalau tak engkau cahayai aku, kalau tak kau rengkuh aku ke
dalam kasih sayangmu, bagaimana harus kulalui kebodohan yang membelit diriku
ini. Sesungguhnyalah tak ada sedebu pun kemampuan untuk kebaikan yang kupunyai
jika tak engkau izinkan aku melakukannya.
0 komentar:
Posting Komentar