"Alasan kenapa cinta pertama tidak akan pernah bisa dilupakan, karena di saat itu kau berdiskusi dengn hati. Hingga menyimpulkan; yang kau rasa bernama cinta...”*
Aku tidak tau
sejak kapan mengenal sesuatu bernama cinta. Aku cuma seorang bocah pemalu yang
bandel kemudian tumbuh menjadi remaja pendiam. Sampai selepas sekolah ketika
usiaku 18, aku masih seorang yang pendiam.
Sesuatu bernama
cinta itu mestinya telah kukenal meski belum bisa kurumuskan dan kunyatakan. Kucari
cinta pertama yang tak punya kemungkinan berubah, ia kan jadi pertama dan
satu-satunya. Mencintai seorang perempuan bagiku adalah hal baru. Aku tak
pernah menurutkan apa yang dirasakan hati, ketika diam-diam kupendam semacam
rasa suka.
Sampai ketika
aku bertemu seorang gadis sederhana yang pembawannya menyenangkan dan riang. Mungkin
ia bukan seseorang yang bisa disebut cantik. Tetapi, cantik tidak selalu apa
yang tampak di wajah. Demikian ia, keseluruhan sikapnya yang bikin dia cantik,
dan aku jadi begitu gandrung kepadanya. Nyandu senyumnya.
Satu waktu yang
membuatku berdiskusi dengan hati. Dikusi yang tidak kesulitan menemukan
kesimpulan bahwa aku sedang mengandung cinta di rahim jiwaku. Setiap malam aku
disiksa ingatan tentangnya. Setiap hari dadaku dipenuhi harapan melihatnya. Ada
saat di mana aku menjadi kecut mengingat masa laluku bahwa aku seorang yang tak
pernah mengutarakan perasaan. Sementara apa yang bergemuruh di dada seperti
sudah tak bisa kutampung lagi. Dan inilah cerita singkat tentang (yang
kusangka) cinta pertamaku. Pada akhirnya aku bilang padanya, aku
mencintainya...
Rasanya seperti
rebahan di atas alas langit setelah kunyatakan itu dan dia tak menampiknya. Sejauh
mata memandang yang terlihat hanya keindahan yang tak bisa kugambarkan. Rembulan
tersenyum, awan-awan tersenyum, malam tersenyum, aku tak bisa tidur.
Begitulah,
mungkin kalian semua juga pernah merasakan yang kuceritakan. Maka ketika telah
beberapa lama cinta itu mendiami hati, seperti telah berakar dan takkan
tercerabut lagi, kukatakan padanya bahwa, kuingin dia menjadi satu-satunya,
bukan yang pertama sebab setelah yang pertama akan ada yang kedua dan
seterusnya. Lantas kunyanyikan,
Meskipun aku di surga
Mungkin aku tak bahagia
Bahagiaku tak sempurna
Jika itu tanpamu
Aku ingin kau menjadi
Bidadariku di sana
Tempat terakhir melabuhkan
Hidup di keabadian
Tetapi sekarang.
Waktu seperti menjugkir-balikkan semuanya. Cinta pertama itu tersesat jalannya,
badai memecah kapal yang kukemudikan akibat keteledoranku. Hingga nyaris tenggelam seluruhnya. Dan yang kusangka
cinta pertama itu ternyata belum menemukan akhir seperti yang kuucapkan padanya;
menjadi satu-satunya.
Sebab ada
perempuan lain yang tak telah menjadi yang pertama dan satu-satunya. Yang mengajariku
apa itu cinta, bukan melalui kata-kata tetapi dengan cinta itu sendiri. Perempuan
yang memberiku kehangatan ketika dunia baru begitu asing dan menakutkan bagiku,
ia, ibuku memelukku erat-erat.
Ibu memang perempuan
pertama dalam cinta yang takkan pernah berubah itu, tetapi gadisku ialah juga gadis pertama yang kusemogakan
menjadi satu-satunya kelak. Maka kuteruskan menyanyi,
Bila nanti aku kehilangan
Mungkin itu hanya sesaat
Karena ku yakin kita kan bertemu lagi...
Mungkin itu hanya sesaat
Karena ku yakin kita kan bertemu lagi...
~
Kau bagaikan angin
Di bawah sayapku
Sendiri aku tak bisa seimbang
Apa jadinya bila kau tak di sisi.
Di bawah sayapku
Sendiri aku tak bisa seimbang
Apa jadinya bila kau tak di sisi.
*Bidadari dalam Bingkai
0 komentar:
Posting Komentar