Pukul dua lebih
duaempat menit
Di luar,
terik beringas mengamuk
Angin berhenti
membawa kabar
Para kekasih
saling membisu
Tiada nyanyi
merdu mampir di telinga
Di kali,
buaya kepanasan
Ujung-ujung
hidungnya mekar
Bernafas terengah-engah
Pencari rumput
terkejut
Matanya seperti
nyangkut
Pada dua butir
mata buaya
Meneguk ludah
banyak-banyak
Dada bergemuruh
isi ombak
Lari! Lari!
Lari!
Pelari maraton
juga kehausan
Botol minumannya
tertinggal
Terpaksa ia
ngemut sandal
Ini entah
puisi atau bukan
Kau sebut puisi
boleh
Tak kau
sebut juga boleh
Jari-jariku sekedar
mengetik
Ah, belum
kuketik “titik”
.
.
.
Nah, tiga titik
cukuplah
Kata pepatah
kan
Setitik nila
Rusak susu
sebelanga
Tiga titik
Rusak susu
sedanau
Sesamudera
Tapi ini bukan
titk nila
Ini titik
mujaer kali
Atau lele
dumbo?
Ah, kaulah
yang bikin aku begini
Lirik kanan
kipas nyala muter-muter
Lirik kiri
jendela hitam
Wajahku seperti
diketam
Oleh bayang-bayang
Lirik depan
Depan kok
ngelirik!
Ya ya ya
Hadap depan
Misteri!
Ya misteri!
Hadap belakang?
Pengalaman
Bukan pelajaran?
Lah, kau
pikir sekolahan?
Mirip kok
Yah,
pelajaran
Mempersiapkan mati
sambil tertawa-tawa
Mepersiapkan
istri sambil bikin puisi
Nah, ngawur!
Udara, ah udara
Seandainnya
kau kekasih
Kupeluk tanpa
harus menunggu waktu
Kucium meski
hanya menemu hampa
Kuhirup dengan
boros
Kentutku biar
tak terlalu buket
Pada suatu siang,
Seorang lelaki
penganggguran mencoba menulis puisi tanpa inspirasi. Ia berangkat dengan
melihat jam. Ditulisnya pukul berapa tertera. Ia mengingat buaya yang kepanasan
di sidoarjo. Bikin kaget tukang nggarit. Padahal buaya cuma pengen ngisis tanpa
niat bikin kaget. Ah, dadaku kembang kembis mengingatnya.
Majnunnnnnnn!
Majununnnnnn!
Gila!
Ini ingatan
macam pahatan!
Dipasang di
pintu jiwaku. Menjadi jendela kalbuku. Dari sana kulongok kebahagiaan yang
berwajah abu-abu. Bukankah bahagia itu berwarna-warni?
Warna-warni itu
untuk kebahagiaan semu!
Pergilah ke
diskotik, warna-warni jadi lampunya tiap hari.
Biyuh!
Kapan rampung
novelku?
Rencananya seribu
halaman, eh, baru satu halaman penuh corat-coretan.
Kapan rampung
hidupkku?
Biyuh biyuuuuhhh!
Sudah kepala
dua tapi masih merangkak dan belajar bicara.
Masih selevel
di atas bayi!
Alhamdulillah
Masih banyak
yang baru belajar nangis kok!
0 komentar:
Posting Komentar