Apakah besok
aku belum mati?
Itu pertanyaanku semalam. Dan ternyata belum, artinya hidup masih terus berlanjut. Segala apapun yang ada di dalamnya
ikut berlanjut, mengalir bagai sungai, kadang deras arusnya, kadang cuma gemericik
yang tenang dan pelan.
Kubuka mata
pagi-pagi dengan ingatan tentang hujan semalam. Serta obrolan yang tak
menemukan ujung dari keponakan serta kakak sulung. Memberiku pertanyaan yang
tak bisa kujelaskan dalam satu dua kalimat saja seperti yang dimintanya.
“Apa sih yang kau sukai darinya?
Kakak sulungku
mengabarkan mimpinya tentang dia yang akan pulang, seseorang yang ditanyakan
suaminya tentang apa yang kusukai darinya itu. Mimpi yang sepertinya lebih baik
tak kudengar saja. Tapi karena sudah tak kuberikan ruang pada harapan
tentangnya, aku tidak terlalu risau mendengarnya.
Setelah itu
kudengar stigma-stigma negatif tentangnya serta apa saja yang berkaitan dengannya.
Bukan dari mulut kakak sulungku. Tapi dari seseorang yang pernah ia katakan
padaku tak bisa dihilangkan dari hati dan ingatannya. Ini cara klasik,
cara lama untuk membuatmu ragu-ragu terhadap keputusanmu sendiri, dengan apa
yang kau yakini. Tetapi aku sudah melewati itu semua. Sudah kulewati dengan
bekas luka yang masih tersisa.
Aku jadi
termenung, bukan lagi diriku yang kupikirkan. Tetapi dirinya dan perasaannya. Ada
sesuatu yang rasanya terlalu berat jika ia ingin melanjutkan langkah cintanya. Tetapi
yang dikatakan seseorang itu tentangnya aku harap tidak akan pernah didengarnya
hingga menjadikan sakit hatinya.
Aku menjadi
tidak terlalu peduli terhadap diriku sendiri, maksudku perasaanku sendiri yang
akan mempunyai jalannya yang tak pernah bisa kuterka. Aku justru
mengkawatirkannya dengan perasaan yang ia punya. Aku tak pernah ingin membuatnya
bersedih, dan kalaupun itu tak bisa kuwujudkan, aku juga tak ingin seseorang
membuatnya bersedih. Dan seperti biasa, mungkin dia akan bilang ngggak usah
repot-repot.
Mungkin kamu
akan bertanya, apa peduliku? Ini tidak sederhana kawan, tetapi ya, aku tak
punya jawaban yang tepat untuk memuaskanmu. Memedulikan orang yang mungkin
sudah tak peduli dan masa bodoh dengan semua yang kau lakukan? Ya, anggaplah
begitu.
Aku ditawari
nama seorang gadis yang lebih muda darinya, yang lebis manis menurut yang
menawarkan dan aku cukup membuka mulut dan berkata “Ya”, maka akan langsung
ditelfonnya ayah sang gadis untuk meminta putrinya buatku. Aku diam, diam,
diam. Betapa memahami perasaan seseorang itu ternyata amat sukar. Tak ada yang
mengerti selain diriku sendiri. Tak ada yang mengerti selain teman sejatiku
dalam sunyi.
Aku pernah membaca
tulisannya bahwa tak ada yang salah dalam mencintaiku. Kalaupun akhirnya
ada kecewa yang dirasakannya atau ada penyesalan yang ia simpan, aku tidak
tahu. Juga apakah ia menyesal telah mengatakan tak ada yang salah dalam
mencintaiku? Aku tidak tahu.
Selalu ingin
kuakhiri tulisanku dengan tersenyum. Begitu juga hidup ini, musti kuakhiri
dengan tersenyum. Apa yang sudah dimulai, selalu punya akhir. Dan senyum
kupilih menjadi pamungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar