Ketika sedang
berdua dengan ayah –biasanya ketika memijitnya- dia akan bercerita tentang
bagaimana ibu. Suatu ketika dia bilang “Saklawase aku nikah karo makmu,
pisan wae aku gak tau krunggu makmu sambat”. Ayah selalu jujur ketika
bercerita tentang ibu, seperti di lain waktu dia bilang betapa dia amat
bersyukur mendapatkan istri ibu “umpono bojoku kuwi ora makmu, mbuh wis dadi
opo aku iki”.
Meskipun sering
kulihat mereka berbantah-bantahan tentang satu hal. Kadang-kadang cuma hal
sepele. Tetapi sesungguhnya mereka berdua sungguh saling mencintai dengan cara mereka
yang kalau kupikir-pikir lucu dan unik. Bahwa cinta kadang tak perlu dikatakan
namun senantiasa bisa dirasakan. Memang, akan terasa wagu kalau
tiba-tiba ayah bilang, “Mak, aku cinta kowe.”
Ayah tidak
pernah menyembunyikan kekagumannya terhadap ibu. Asal tidak di depan ibu. Aku senang
mendengar cerita-ceritanya tentang ibu “Makmu kuwi sak sabar-sabare wong
kok, ora ono liyane makmu, anak-anak’e wae gak onok sing koyo makmu. Sregepe gak
karuan, gematine yo ngono, lomone yo gak karuan”. Kalau tanpa sengaja ibu
mendengarnya, biasanya dia akan bilang “Halah, pak’em kuwi omongan ngunu
kuwi men dibolan-baleni wae.”
Ayah paling
nggak bisa jauh dari ibu. Ini kaitannya dengan kopi. Kalau tak ada ibu, nggak
ada yang bisa bikin kopi yang pas dengan selera ayah. Walaupun ibu selalu
ngasih tau takaran berapa sendok kopinya, berapa sendok gulanya, tapi kalau bukan tangan ibu sendiri yang bikin kopinya
jaminan nggak bakal cocok di lidah dan hati ayah. Kalau kopinya udah nggak pas,
ayah bawaannya uring-uringan. Soalnya, kepala
pening katanya. Sehari musti 3 cangkir kopi. Lebih boleh, kurang haram.
Begitupun soal
masakan. Nggak ada yang nggalahin ibu katanya.
“Masak’ane
makmu kuwi ora ono sing ngalahi, wuiiinuk!”
Ayah dulu
adalah seorang pedagang sapi. Tetapi cerita ibu, sebelum berdagang sapi, ayah
pernah dikasih sepetak sawah sama simbah, namun karena beberapa hal, ayah gagal
panen pada percobaan pertamanya. Cukup sekali itu, dan ayah merasa tidak sreg
menjadi petani. Akhirnya dia mulai berdagang apa saja dengan tanpa modal alias makelaran.
Ayah mulai mencoba berdagang sepeda bekas, kambing, kerbau, lalu sekalian
menjadi jagal sebelum kemudian istiqomah menjadi pedagang sapi.
Kalau sudah
cerita tentang masa-masa silam, seringkali ayah menjadi sentimentil. Seperti ketika
mengingat beberapa kali sapinya hilang, padahal itu miliknya orang. Sementara
anak-anak yang masih kecil-kecil butuh uang makan (aku belum lahir waktu itu), seusiaku sekarang, ayah sudah punya dua anak. Matanya
akan berkaca-kaca dan nafasnya menjadi lebih cepat dan padat.
Ayah itu seperti
punya nyawa rangkap, ini juga kudengar dari cerita ibu dan ayah sendiri kadang merasa heran kalau sampai sekarang dia masih hidup. Semasa menjadi
pedagang sapi, beberapa kali ayah mengalami kecelakaan yang “mustinya” sudah
merenggut nyawanya, tetapi urung. Ia pernah jatuh dari kereta api, pernah nyungsep
ke jurang bareng motornya, jatuh dari atap rumah dan beberapa peristiwa lagi
yang sudah tak kuingat. Mungkin ia sejenis lelaki yang tengkorokannya buntu
sehingga nyawanya tidak bisa keluar dan dikeluarkan seperti dalam cerpennya Pak
Mardi Luhung, Lebih Kuat dari Mati.
Ada satu hal
yang tidak pernah ditinggalkan ayah, sesibuk apapun dia. Dalam sehari, ia
selalu mengaji al-Qur’an satu juz. Sudah bertahun-tahun ia melakukannya, jauh
sebelum aku lahir. Kalau dihitung dari umurku saja, berarti sudah duapuluh-dua.
Keajegan yang luar biasa. Maka, ketika dolan ke Surabaya, ke rumah anak
sulungnya yang saat ini sedang “kutumpangi” yang ditanyakannya Cuma satu “Afiq,
piye Fi, ngajine?”
Jadi apapun
nanti, kata ayah, itu tidaklah penting. Yang penting adalah mengakrabi al-Qur’an.
Kunci hidup itu al-Quran katanya. Semua urusan akan menemukan jalan keluar yang
indah jika kita sudah akrab dengan al-Qur’an.
Begitupun ibu,
ia mungkin lebih cerewet dibanding ayah. Tetapi pertanyaan utamanya
kepadaku selalu sama dengan pertanyaan
ayah kepada kakak sulungku. Berbeda dengan ayah yang jarang menanyaiku
langsung. Ibu selalu bertanya langsung kepadaku. Tidak cuma soal itu, juga
ketika ia mendengar aku naksir seorang gadis misalnya.
Ibuku juga
seorang pedagang. Pedagang kedelai yang kadang-kadang juga dagang kajang ijo
dan beras. Sewaktu aku usia esde, aku sering ikut ibu kulak’an kedelai di
Bojonegoro. Kata ibu, sewaktu aku kecil itu sukanya minta dibeliin ini itu, dan
ibu tidak selalu bisa menurutinya. Kalau sudah begitu aku jadi rewel dan banyak
tingkah, sebab inilah aku sering diceburin ayah ke jeding, sampai aku
berhenti menangis dan ibu mengeluarkanku dari jeding.
Sewaktu di
Bojonegoro juga, untuk pertama kali oleh ibu aku diajak ke dokter gigi untuk
mencabut satu gigiku yang sudak gowal-gawil. Dengan janji akan dibelikan
baju baru, aku menurut. Ternyata sama sekali tak terasa sakit, aku menurut
sebenarnya dengan perasaan agak takut-takut karena kata simbah, kalau tidak mau
dicopot giginya, ia akan menggunakan cara klasik yang menyeramkan; gigiku yang gowal-gawil
akan diikatnya dengan benang, lalu ujung benang yang lain akan diikatnya di
jendela dan “blak!”, jendela akan dirorongnya kuat-kuat sampai gigiku
copot.
Ibu adalah juga
pengagum ayah, meski tidak seterus terang ayah dalam mengaguminya. Sesekali kudengar
juga perkataan ibu bahwa ayah itu pekerja keras. Tapi ibu selalu mewanti-wantiku
untuk tidak meniru sifat “nyegit”alias galaknya ayah.
Kalau aku tak
mau mandi ketika senja sudah tiba, dengan beringas ayah akan memukul pantatku. Aku akan
mencari perlindungan ibu meski selalu sia-sia karena ibu berada di pihak ayah
dalam urusan mandi. Sehabis mandi aku harus ngaji. Ayah membaca, aku menirukan.
Ayah membaca, aku menirukan. Kalau salah atau kurang benar, ayah akan
membentak. Aku langsung menangis. Rasanya semaki nsulit menirukannya dalam
keadaan menangis. Ayah tidak peduli, aku terus dibentakinya sampai suaraku
habis. Ia memandangku dengan mat yang menakutkan, aku menunduk sambil
terguguk-guguk. Shodaqollahul adhim... Dan, aku berlari ke pelukan ibu.
Ayah selalu
keras untuk urusan ngaji dan mandi. Tetapi ketika aku sakit, ia orang yang
paling peduli. Ia orang yang paling kubikin repot selain ibu. Diselimutinya aku,
dielus-elusnya kepalaku. Aku menemukannya di sampingku ketika tiba-tiba aku
terbangun tengah malam sebab badanku terasa panas dan gerah.
Tuhan, sayangi
keduanya.
0 komentar:
Posting Komentar