Satu hari dengan
hal-hal yang berdesak-desakan, yang terlalu banyak untuk dituliskan semuanya. Perjalanan
pagi buta, udara dingin yang menggigilkan, kecelakaan truk yang kepalanya pecah
menghantam tubuh pohon trembesi, kemacetan berkilo-kilo, nyaris dapat ciuman
dari bis jurusan tujuan surabaya, candaan-candaan konyal yang bikin tergelak.
Lantas tadi
sebelum kembali, ibu mengecup keningku, ayah memandangku dengan mata tuanya. Betap
keluhan-keluhan dalam hidupku membuatku malu bukan main ketika kupandang
keduanya lalu ada senyum dan tawa di sana. Ada yang lucu dari ayahku, kemarin
dia bertanya,
“Sudah datang
pacarmu?”
Nah, harus
bagaimana kujawab. Itu pertanyaan langka yang tak pernah kusangka akan keluar
dari tempat semadinya. Pertama, aku tak punya pacar, ayah. Kedua, siapa yang
kau sangka akan datang itu? Jelaslah kau sudah mendengar banyak cerita dari
menantu lelakimu itu. Lantas kau bertanya lagi sebelum kujawab,
“Katanya nggak
jadi?
Ini juga
pertanyaan langka, biasanya ayah tidak terlalu memerhatikan, lebih-lebih
memedulikan hal-hal seperti ini, belum kujawab dan lantas disambungnya lagi,
“Katanya,
ayahnya nggak setuju?”
Biyuh, biyuh, cerita macam apa yang diceritakan menantumu itu kepadamu. Bukan soal
itu ayah, bagaimana musti kujawab. Dan, aku diselamatkan oleh tangisan cucumu
itu dari keadaan serba wagu ini.
Kulepaskan nafasku
dengan amat sangat-sangat perlahan. Aku pindah ke ibu, berteduh dari
keresahan-keresahan di rindangnya wajahnya. Ia menasehatiku lagi soal topi,
katanya aku mirip pengamen. Aku tersenyum dan menghampirinya, lantas berbalik
sambil masih nyangking senyum.
Ketemu teman-teman
sebaya, anak-anak madrasah yang sudah ngumpul buat ngedengerin tausiah dariku.
Serius tausiah? Enggak-enggak... Cuma sok aja, aslinya kagok disuruh bicara,
tapi wajah mereka bikin betah lama-lama, wajah-wajah yang menyimpan banyak
nostalgia. Bukan tausiah, Cuma tarbiyah bikin dan baca puisi. Tarbiyah
itu pendidikan, akar katanya (ra-ba-ya > rabbun) jadi bikin dan baca
puisinya harus inget sama Rabb. Tujuan
pendidikan adalah memperoleh cinta dari yang Mahamengasuh. Pendidikan dalam hal
apapun.
Sama seperti
aku, benak mereka dipenuhi imajinasi tentang ibu, kekasih, cinta dan kematian. Lantas
kusitir sepenggal puisi Rendra untuk menunjukkan kepada mereka bahwa, kita
butuh sebuah kreatifitas dalam menyampaikan perasaan, tak terkecuali kepada
Tuhan,
Apabila aku
dalam kangen dan sepi
Itulah berarti
aku tungku tanpa api
Ada putri dari
seseorang yang sangat aku sayangi diantara anak-anak berwajah manis itu. Dia
menjadi salah satu yang maju untuk membacakan puisinya. Aku sedikit menyesal
tidak membawa hadiah yang banyak sehingga dia bisa kebagian juga.
Ada ketua osis,
gadis yang maju pertama kali membacakan puisinya, wajahnya juga penuh dengan
nostalgia, melesatkanku pada kenangan ketika dulu pernah dicalonkan sebagai
ketua osis, tapi urung. Sebabnya, disabotase oleh guru bepe yang menjadi “musuh”
saya di kelas. Guru matematika kurus tinggi itu.
Lantas pergi
mendaki, juga menurun, melihat air terjun. Beratus-ratus beban rasanya ikut
terjun bersama air warna hijau yang jatuh dan memercik.
Ayah dan ibu
tersenyum. Tak ada yang lebih membahagiakan daripada itu.
Soal pacar,
ayah. Lain kali kubawa dihadapanmu kalau sudah jadi istri. Masih dalam proses.
Naik sesepuhnya
para bis, seperti dokocok-kocok karena tulang-tulang renta bis itu mestinya
sudah saatnya menepi sebab sudah tak punya kekenyalan sama sekali. Mungkin kalau tak mati, tak akan berhenti.
Sebelum turun
di pasar loak, seorang pengamen bertelanjang kaki naik sambil menggendong anaknya,
lalu duduk di sebelahku. Kupikir usianya masih dibawahku. Anaknya tersenyum kepadaku. Giginya masih dua, di hidungnya ada noda.
Dan akhirnya
sampai di depan komputer untuk menuliskan ini dengan punggung pegal-pegal dan
mata yang ingin segera dilelapkan.
0 komentar:
Posting Komentar