Sudah seberapa panjang rambutmu?

Sudah seberapa panjang rambutmu; sebahu, sepunggung, sepinggang atau sepantat? Aku Cuma bisa melihatnya dalam mimpi ketika zaman seperti kembali ke masa silam, dimana perempuan-perempuan masih mencuci dan mandi di kali. Aku melihatmu membawa cucian dengan rambut hitam tergerai. Dalam mimpi, rambutmu telah panjang. Sepantat. Berbeda seperti dalam kenangan yang baru sebahu.
Dari atas jembatan kayu aku melihatmu. Menngunakan jarit sedikit diatas dada lalu mulai mengguyurkan air ke kepala. Aku jadi ingat Husrev yang pernah melihat Shirin mandi dibawah tatapan bulan tanpa sehelai benang, lantas jatuh cinta tak ada habisnya. Tapi mimpi ini di pagi hari. Ketika embun masih malas menggeliat di punggung rerumputan dan daun-daun. Para petani berangkat ke sawah sambil memanggul pacul dan mengepulkan kreteknya ke udara. Tahun berapakah ini?
Sungai yang kau gunakan mandi dan mencuci masih sama jernihnya dengan matamu yang membuatku tak bisa melupakanmu. Ketika mata kita bertemu, seakan kita dilesatkan ke dalam ruang rindu. Entahlah, itu perasaanku.
Dari jauh terdengar sapi-sapi melenguh. Anak-anak ribut berebut menunggang kerbau yang akan dimandikan orangtua mereka di kedung. Beberapa meter di bawah tempatmu membasuh tubuh. Engkau telah selesai, rambut basahmu terurai. Aku seperti bisa mencium baunya dari jauh, lantas memejamkan mata.
Aku sadar aku sedang bermimpi. Mimpi, dunia yang selalu penuh kejutan. Dunia yang tak bisa kita pesan dan tebak. Yang kadang datang begitu saja kepada kita tanpa kita harapkan.
Aku selalu berdebar ketika melihatmu. Ada sesuatu di dalam dada yang mekar dan membuatnya sesak. Ada rasa ketersiksaan yang menyenangkan. Ada gemuruh. Perasaanku luruh.
Dengan cara berlajanmu yang sudah kuhafal. Kuikuti langkahmu dengan mataku. Kau titi pelan-pelan batuan. Kau daki perlahan jalan menanjak. Kulihat betismu ketika jaritmu tersingkap, tidak ramping namun tidak juga besar. Mengkilat-kilat karena belum sepenuhnya kering.
Kata orang, seindah-indahnya mimpi itu tak ada guna. Ah, peduli apa sama omongan orang. Dia Cuma orang yang tak pernah menghayati mimpinya. Dia tentu tak pernah sungguh-sungguh terhdap mimpinya.
Bagiku mimpi punya banyak makna. Yang pertama tentu saja tentang perasaanku terhadapnya. Tentang kerinduanku kepadanya. Tentang cinta...
Mimpi adalah lukisan indah yang dilukis oleh Tuhan. Sebagaimana lukisan terindah, matamu tak akan berkedip sedikitpun memandangnya. Namun, di dalam mimpi justru matamu tak akan terbuka sebelum rampung mimpimu. Engkau terpejam.
Matahari mulai naik. Mataku sudah tak bisa mengikuti langkahmu yang disembunyikan bukit. Di bawah pohon ringin yang rindang aku menulis puisi.

Kala mataku dipenuhi wajahmu
Hatiku hampir tumpah menahan resah
Tubuhku terpaku ke tanah
Mimpi seperti nyata
Meski, nyata-nyata
Ini sungguhlah sekedar mimpi

Kalau kelak engkau tak bisa mencintaiku karena sebuah alasan. Tak ada yang bisa kulakukan selain menjadi doa untukmu. Membisikkan harapan-harapan kebahagiaan untukmu pada bilik-bilik malam yang sunyi. Menyampaikan keinginan sederhana selain kebersamaan.
Kita akan semakin tua setiap harinya. Begitu pula kenangan kita. Akan menjadi seperti buku. Setiap halamannya menjadi lapuk kemudian terlupa dan terlempar dari perhatian. Tetapi cinta tak pernah menjadi tua. Ia senantiasa membara dan berapi-api.
Kau, yang senantiasa kusayangi. Sudah seberapa panjang rambutmu; sebahu, sepunggung, sepinggang atau sepantat?



0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.