kesepian, tuhan dan perempuan telanjang




Semalam kulihat rembulan yang sama seperti dua tahun yang lalu, di balik mega ia memandangku ketika aku memandangnya. Mataku bertemu dengan matanya. Ketika itu malam begitu sunyi, dan semalam juga amat sunyi sampai-sampai tak bisa kukenali angin sebagai angin. Apakah engkau pernah merasakan kesepian, bulan? Sementara di sekelilingmu bintang-bintang riuh bersenda gurau membicarakan manusia yang sebelum terlelap tak pernah mendongakkan kepalanya untuk melihat mereka. Manusia-manusia yang merutuki nasibnya, yang mengeluh dan tak pernah melihat mereka; bintang-bintang. Kadang aku takut menyatakan kesepian sebab kawatir tuhan tersinggung karena ia senantiasa menjadi kawanku sejak nafas pertamaku hingga kini. Dalam sepi ataukah dalam ramai, ia tak permah pergi. Maka kesepian kuadukan padanya, kubicarakan bersamanya, sambil tersenyum dan mengusap air mata. Sementara suara dengkur saling sahut, aku menemukan diriku sedang duduk sendirian di atas kesepian yang belum sempat kuadukan namun telah dipahami oleh tuhan. Dari rembulan, awan-awan, lagit dan juga angin yang tak kukenali sebagai angin kuperoleh satu dua kalimat tuhan, kuperoleh segelas penawar dahaga kesepian. Kupejamkan mata sampai kesepianku luruh tak bersisa. Dalam mimpi kutemui tuhan dalam wujud perempuan telanjang.

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.