Nyaris enam musim pertemuan tertangguhkan, masih sama membaranya
seperti ketika kuselami matanya, seperti ketika kukuncupkan puisi pertama
untuknya. Aku yang hijau terbata-bata mengucapkan cinta, tergagap ketika temu
membekukan waktu. Ketika kakinya beranjak menuju jarak, kurawat ingatan rindu,
ada pertemuan lain yang bersembunyi di balik musim dingin yang menggigilkan
kangen.
Ketika waktu menjadi begitu pongah ketika menatap aku yang cemas,
meniti setambang tali di atasnya untuk mengikis jarak selangkah-selangkah.
Hari-hariku berwarna biru muda, tetapi hati jadi sewarna bara api. Adalah gejolak
api unggun dan gemertak kayu terbakar dalam diamku. Dia, menjadi sesuatu yang
terlalu penting dibanding sekedar mengingat wajah hening. Dia, yang tak memedulikan
kesibukannya untuk menyelipkan senyum kepadaku, ketika rekah fajar, lalu siang
mengiangkan suara senja yang tak sabar untuk disapa. Tengah malam bergulir
dengan gerak embun, percakapan diawetkan dalam kenangan.
Aku tak tahu, kapan akan berhenti. Hati sedikitpun tak berbisik
mengenai kesudahan, hanya desahan-desahan. Rindu yang semakin menggumpal, menyumbat
akal sehat. Kegilaan kuperlukan untuk tak terlarut kalut, terbakar marah.
Pada setiap pori-porimu yang kutiupi kasih, apakah masih, ataukah
telah sisih. Lesung pipit melesatkanku, menyentuh awan seputih kapas, lantas
mengambang dan jatuh terlilit rindu, lagi. Karena kini telah tersisih aku, di
ujung masa silam yang berhenti berjalan, aku duduk melupakan lari, mengejarmu,
yang berjalan di tepi.
Barangkali aku sekedar goresan kapur atau hanya debu di kaki papan
tulis legam. Terlalu mudah dihapus, direnggut angin sampai ingin pun pupus. Tapi
telah kutulis lelah, lelahmu, lelahku yang butuh istirah. Aku mohon ijin, aku
bukan jin, hadir atau tak, sama saja, seperti Khidir.
Aku, warnamu dalam pelangi atau kopi.
0 komentar:
Posting Komentar