Aku mengenalnya sebagai anak yang paling murung
diantara-teman-temannya. Meski sudah lama kenal, aku jarang sekali
bercakap-cakap dengannya. Jangankan bercakap-cakap, menyapa saja dia tidak
pernah. Kukatakan ‘menyapa saja dia tidak pernah’ karena aku perempuan, dan
menurut adat ketimuran bukankah seharusnya dia yang menyapa duluan. Begitulah,
aku masih mengikuti cara konvensional tersebut. Aku merasa malu jika harus
menyapa duluan.
Selain selalu terlihat murung, dia juga pendiam
yang ulung. Hampir tak pernah kudengar suara dari mulutnya. Terus terang aku
penasaran dengan sikapnya. Apa memang begitu kesehariannya atau hanya kepadaku
saja ia bersikap seperti itu.
Setelah berbulan-bulan hanya diam. Dia akhirnya
bicara juga, meski hanya beberapa kata “Kuliah, mbak?” tanyanya suatu pagi.
Wah, dia memanggilku ‘mbak’, dipikirnya berapa umurku, jelas aku lebih muda
darinya. Tapi kupikir normal untuk sapaan pertama. Mungkin dia masih sungkan menyapa
dengan namaku. Anehnya, aku sedikit kikuk mendapat sapaan darinya.
Sebelum kuceritakan tentangnya lebih dalam,
baiknya kuperkenalkan dia terlebih dahulu. Namanya Eskiv. Aku menyukai nama itu
ketika pertama kali mendengarnya. Menurutku itu nama yang bagus dan tak
seharusnya seorang dengan nama sebagus itu begitu pendiam. Aku benci kepada
sikapnya itu. Karena dia selalu membuatku penasaran. Alangkah lebih baik jika
dia bersikap biasa saja. Seperti kawan-kawannya yang tak segan menyapaku ketika
berjumpa, atau ketika tak sengaja berpapasan di jalan.
Kau tahu, ini sudah bulan keenam aku mengenalnya
dan dia baru sekali menyapaku. Menyebalkan. Aku heran dengan diriku sendiri
yang biasanya cuek dengan urusan-urusan beginian. Namun kenap kali ini tak bisa
begitu saja melupakannya. Aku terus-terusan memikirkannya.
Hari itu aku bertemu dengannya di halte. Dia
melihatku, menatapku sejenak kemudian buru-buru membuang pandangannya ketika
mendapatiku menatapnya juga. Ah, selalu menyebalkan. Aku mendekatinya. Baiklah,
kali ini biar aku yang mengalah. Kuberanikan untuk menyapanya.
“Eskiv, mau kemana kau?”
Oh, ibu. Dia masih saja diam. Hanya tersenyum
dan menatapku sebentar. Lalu melangkah masuk ke dalam bis yang barusan datang.
Aku terpaku. Aku tak jadi masuk bis. Kesal.
Setelah kejadian itu, kuhabiskan malam-malam
untuk memikirkannya. Ada semacam magnet yang menarikku untuk itu. Sampai
bermimpi pun kudapati diriku masih memikirkannya. Aku tak suka bermimpi seperti
itu, karena setiap kali terbangun, perasaanku sungguh tak enak. Rasanya ingin
menangis.
Aku sendiri heran dengan perasaanku. Tak pernah
sebelumnya seperti ini. Jika kau mengenalku, aku termasuk jenis orang yang cuek
dalam segala hal. Namun soal Eskiv tak bisa kumasabodohkan. Aku sangat
terobsesi padanya.
Apa yang telah kau lakukan padaku, Eskiv. Kau
menyiksaku. Aku tak mungkin tahan terus-menerus begini. Perasaan aneh ini
lambat laun akan menghancurkan hidupku. Sebenarnya apa yang membuatnya begitu
menggemari diam.
Maka terus kupikirkan cara untuk membuatnya
bicara. Namun sepertinya tak hanya itu yang menjadi alasanku. Ada perasaan yang
lebih kuat dari dalam diriku. Entah apa namanya. Setelah tak menemu solusi
selain yang sedikit rasional, akhirnya kuputuskan untuk memasuki mimpi Eskiv.
Barangkali di dalam sana aku bisa mengetahui alasan yang membuatnya selalu
diam.
Itu terjadi pada malam minggu di bulan ketujuh
aku mengenalnya. Aku menunggu tengah malam. Mula-mula aku mengendap-ngendap di
atap rumahnya. Aku tahu dimana kamarnya. Dari sela-sela genteng kulihat Eskiv
sudah tidur. Manis sekali wajah lelapnya. Kenapa aku baru sadar kalau dia
benar-benar manis. Berbeda ketika dia sedang terjaga. Ah, kenapa sih dia
memilih menjadi menyebalkan.
Tak boleh kubuang-buang waktu. Aku harus
melakukannya sesingkat mungkin. Akan kuceritakan sedikit soal memasuki mimpi
ini. Dulu nenekku adalah seorang pertapa sakti yang hidupnya selalu mengembara.
Ia berhenti mengembara ketika bertemu dengan kakekku. Dari mereka berdua
lahirlah ibuku ke dunia. Anak satu-satunya. Ibuku lalu menikah dengan seorang
laki-laki yang biasa saja dari kota lalu mengikutinya. Meninggalkan nenek dan
kakek di gunung. Berkat laki-laki yang biasa saja itu ibu akhirnya
melahirkanku. Laki-laki biasa saja itu konon akan kupanggil ayah. Aku juga satu-satunya
anak ibu. Yang paling cantik. Karena memang tak ada yang lain selainku.
Meski terpisah jauh dari nenek dan kakek yang
tinggal di gunung, hampir setiap minggu nenek tetap mengunjungiku. Ia sangat
menyayangiku. Kalian belum lupa kan kalau nenekku itu pertapa sakti? Inilah
maksud ceritaku, nenek hanya perlu memejamkan matanya untuk sampai di kota
tempatku tinggal. Tiap kali nenek berkunjung, dia selalu mengajariku ilmu-ilmu
dikuasainya. Banyak sekali sehingga tak dapat kuhafal nama-namanya. Salah satu
yang kini masih kukuasai adalah ilmu memasuki mimpi seseorang. Itulah yang
kulakukan kepada Eskiv.
Sama seperti nenek, aku hanya perlu memejamkan
mata dan berkonsentrasi di dekat tubuh Eskiv. Perlahan kubayangkan diriku masuk
melalui matanya. Kenapa mata? Sungguh, itu bukan karena aku kawatir dia belum
menggosok giginya, maka aku tak mau masuk lewat mulutnya. Hanya kau harus tahu
bahwa sebagian besar mimipu itu disebabkan oleh mata. Ia merekam banyak hal di
retina dan menyimpannya di otak. Hal itu tak pernah dilakukan oleh mulut yang
yang hanya pandai membual. Tapi toh mulut Eskiv berbeda, dia seorang pendiam
yang istiqamah.
Aku berhasil masuk dalam mimpi Eskiv. Hal
pertama yang kulihat adalah pintu. Ada banyak sekali pintu disini. Terlalu
banyak untuk kuhitung dan kusimpulkan berapa jumlahnya. Jika kau pernah
mengunjungi, minimal mengetahui bentuknya Kolosseum di Roma, maka seperti
itulah tempat yang kulihat dalam mimpi Eskiv.
Cukup lama aku berkeliling memutari tempat dalam
mimpi itu. Namun dunia mimpi ini sepertinya tak terikat oleh waktu. Aku tidak
merasa capek sama sekali. Ada cukup banyak pintu bertuliskan ‘kopi’. Kukira
Eskiv adalah penggemar kopi. Ada juga pintu bertuliskan ‘buku’. Aku tertawa,
ternyata dia lebih sering ngopi dibanding membaca buku. Jumlah pintu
bertuliskan buku lebih sedikit dibanding yang bertuliskan kopi. Masih banyak
pintu dengan tulisan banyak hal lain seperti ‘cita-cita’, ‘pelukis’, ‘bola’ dan
lain-lain. Eskiv sebenarnya sama dengan anak laki-laki lainnya dari apa yang
kulihat di mimpinya. Namun apa yang membuatnya begitu pendiam. Aku masih belum
tahu.
Sebuah pintu yang sedikit berbeda kulihat
diujung lorong di depanku. Pintu ini tak ada tulisannya seperti yang lainnya.
Terlihat lebih suram, tapi ada sesuatu yang membuatnya tampak menyenangkan.
Sama seperti pintu lainnya, pintu suram yang tampak menyenangkan ini juga tak
terkunci. Alangkah terkejutnya aku ketika memasukinya. Dinding-dinding ruangan
itu penuh dengan foto-fotoku dengan berbagai ekspresi. Sungguh aku terkejut. Apa
artinya ini. Dia menempelkan foto-fotoku di salah satu ruangan dalam mimpinya?
Ini ruangan yang hangat dan menenangkan. Aku betah berlama-lama disana.
Aromanya yang khas membuatkau merasa nyaman. Eskiv, apa lagi ini?
Sebelum sempat kusimpulkan apa arti dari ini
semua, kudengar kokok ayam berkumandang. Kau tahu kan, bahkan para jin, anak
buah Bandung Bondowoso pun ketar-ketir mendengar kokok ayam sehingga bangunan
seribu candi yang menjadi syarat dari Roro Jonggrang menerima pinangan gagal
terwujudkan. Begitupun denganku. Aku bergegas keluar dari mimpi Eskiv sebelum
dia terbangun. Tak terlalu sulit. Yang perlu kulakukan hanya membuka mata.
Aku sudah keluar dan kulihat lagi wajah lelapnya
yang manis. “Eskiv, apa yang sebenarnya kau simpan?” tanyaku dalam hati.
___
Esoknya aku bertemu Eskiv. Ia masih terlihat
seperti biasanya. Malah lebih murung dan dingin. Setelah berulang-ulang
kupikirkan tentang semua hal dalam mimpinya semalam, sepertinya aku mendapat
kesimpulan yang bagus. Untuk itu kali ini kutahan dia.
“Eskiv! Tunggu!” dia menahan langkahnya,
kemudian menghadap padaku.
“Apa yang kau pikirkan tentangku? Kenapa sih kau
selalu diam di depanku? Bukankah kita sudah saling kenal berbulan-bulan? Jujur
aku jengkel denganmu. Sikapmu menyakitkan!”
Aku mencecarnya. Namun perasaanku biasa saja.
Aku sudah tahu isi hatinya dari mimpinya. Dalam hati aku tersenyum melihat
Eskiv menunduk di depanku. Ia kemudian mengangkat wajahnya dan tersenyum
seperti biasa. Lalu pergi dari hadapanku.
“Sampai kapan kau akan menyimpannya, Eskiv? Aku
sudah tahu kenapa selama ini kau diam ketika di depanku. Sok tidak peduli. Itu
karena kau meyimpan rasa suka padaku bukan? Kenapa tak kau katakan saja?
Kuakui, aku juga suka kepadamu” kembali hanya hatiku yang berkata-kata.
Malam-malamku kembali penuh sesak dengan
pikiran-pikiran tentang Eskiv. Perasaanku menjadi tak karuan lagi. Sudah hampir
sebulan sejak pertemuan terakhir dengannya aku tak melihatnya lagi. Kutanyakan
pada kawan-kawannya dimana dia sekarang. Tak ada yang tahu. Dia tak pamit.
Kudatangi juga rumahnya. Semua orang di rumahnya tak menjawab, sepertinya Eskiv
sudah berpesan kepada mereka untuk merahasiakan keberadaanya. Baiklah.
Sepertinya aku terlalu berlebihan kepadanya tempo hari.
Sebulan lagi berlalu dan Eskiv masih belum juga
kembali. Aku benci terus memikirkannya. Mungkin aku harus pergi juga. Nenek
menginginkanku menemaninya di di gunung. Dia ingin tinggal bersama cucunya
sebelum pergi selama-lamanya. tak masalah buatku, aku akan tinggal bersama
nenek. Barangkali pikiranku bisa membaik disana. Setelah pamitan kepada
ibu dan ayah, aku langsung menuju stasiun. Nenek tidak mengajariku
teleportasi jadi aku harus naik kereta menuju rumahnya.
Kalian mungkin berharap cerita ini akan berakhir
romantis seperti di film-film. Eskiv mengejarku ke stasiun dan menyatakan
perasaan cintanya kepadaku. Namun itu tidak terjadi. Sampai kereta melaju,
Eskiv sama sekali tak tampak. Mungkin inilah saat yang tepat untuk
melupakannya.
“Selamat tinggal Eskiv”
___
Kulepaskan perasaan bersama dengan derap kereta
yang tertinggal. Aku mulai bisa menikmati senja yang akhir-akhir ini
teracuhkan. Terlihat lebih keemasan dari biasanya. Burung-burung yang berenang
di senja itu seakan membawa terbang setiap keping keresahan yang selama ini
kupendam. Dari jendela kereta kulihat kehidupan baru. Tanpa Eskiv lagi yang
mengganggu.
Perjalanan selama enam berakhir juga. Aku tiba
di stasiun kota dimana nenek dan kakek tinggal. Aku turun dari kereta. Berjalan
menunduk. Masih berusaha menggugurkan perasaanku pada Eskiv pada tiap langkah
yang kubuat. Tanpa sadar kutabrak seseorang di depanku. Aku mendongak.
“Eskiv?!” Aku setengah berteriak. Setengah tak
percaya. Dan terkejut bukan buatan. Eskiv sekarang berdiri di depanku.
Pandangannya teduh. Lain dari biasanya.
“Kau mau kemana, Da?”
Aku tercenung mendengar suaranya. Dari nadanya
kutahu ia kawatir padaku. Lidahku terasa kelu. Bibirku seketika beku. Aku hanya
diam menatapnya. Hanya mataku sanggup berkata-kata. Lewat air mata aku berkata
pada Eskiv. “Kau, kemana saja?”
Dia tersenyum manis sekali. Mengeluarkan sapu
tangan dari sakunya. Mendekatiku. Mengusap mataku dengan lembut. Tubuhku masih
terlalu kaku untuk kugerakkan. Aku masih mematung. Sebelum dengan perlahan ia
merengkuhku lembut dalam pelukannya. Kudengar jelas detak jantungnya. Kurasakan
hangat tubuhnya. Juga hembusan nafasnya ditelingaku. Dia berbisik pelan, sangat
pelan hingga hanya aku saja yang bisa mendengarnya.
“Aku cinta kamu...”
Lagi-lagi dia mengobrak-abrik perasaanku. Namun
sungguh berbeda dengan yang sudah lalu. Dalam pelukan Eskiv, aku melihat
sekelebat bayangan nenek.
“Nenek? Engkaukah yang membawanya kepadaku?”
anjiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiisssss....cerpene jos gandos og..diancuk tenan...
BalasHapus