Koreksi




Mungkin puisi tak dipelukan lagi. Kata-kata telah meregang nyawa kemarin siang. Bersamaan dengan air mata, yang kutahan, dan terlanjur menghambur. Aku terlentang beralas kerapuhan. Kuingat-ingat lagi mana kepingan yang kulupakan, mana sudut yang alpa kuraba. Lantas sebuah adegan berganti berulang-ulang, sakit yang kutimpakan kepadamu nongol amat jelas di pelupuk mata, sikapku yang menganggap itu biasa-biasa saja, menambah sakitmu. Betapa besar sakit yang musti kau tanggung sampai-sampai engkau tak kuat lantas mengatakan cukup. Nyun, aku sedikit tahu arti perbedaan yang kau ungkap itu, mungkin tak sepenuhnya, tapi aku mengerti. Aku mengerti jika engkau tak bisa mengertiku sebab aku sendiri tak mengerti mengapa begitu tega kepadamu. Perbedaan yang yang mustinya bisa saling dimengerti menjadi bumerang bagiku karena salah jalan. Sedikitpun tak pernah terbersit keinginan mengecewakan, apalagi mengukir sedih. Tapi waktu, lagi-lagi selalu pergi tanpa peduli sesuatu telah dikoreksi atau belum. Meninggalkan luka, membekaskan trauma. Jika sekarang tak lagi bisa engkau temukan persamaan, akan aku beritahukan. Persamaan yang kita miliki adalah: hidup. Kita masih sama-sama hidup dengan membawa kemungkinan-kemungkinan, yang kita inginkan atau tak, yang kita harapkan, atau justru yang berusaha kita hindari. Pada akhirnya waktu juga yang menentukan, apakah akan merenggangkan jurang -yang katamu telah terlalu banyak-, sehingga untuk bertatap mata saja barangkali seperti kemustahilan. Aku ingin putus asa dan menyudahi saja semuanya, tapi sesuatu yang mudah tak selalu membawa kebaikan, putus asa selalu lebih mudah daripada berjuang. Aku melihat bahwa proses ini hampir selalu berakhir dengan kegagalan, tapi toh terus berusaha kurawat prasangka. Jika hasil akhirnya tak berubah, paling tidak aku memiliki prasangka baik kepada Ia, yang menggelarkan jalan bagi setapak-setapakku yang kubuat berkubang. Dan Ia senantiasa bersedia memandikanku, memelukku dengan hangat meski pakaian yang kupakai penuh lumpur kotor dan dihiburnya hatiku yang pucat.

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.