Krampung




Krampung pagi hari, duduk diatas kursi plastik yang retak tengahnya, aku menunggu sate pesananku matang, daging sapi harga murah, dengan gajih yang melimpah. Penjualnya asal madura, nenek tua yang ceria. Konon ceritanya, ia naik haji dari berjualan sate, ditabungnya sedikit demi sedikit, disimpannya dengan hati-hati, meski tak jadi bukit, ia berbahagia bisa sowan ke makam kanjeng nabi. Katanya lagi, anak-anaknya tak menyangka ibunya bisa berangkat sendiri kesana tanpa ada sepeserpun uang dari mereka nyelip di sakunya.
Di sebelah kiriku, pedagang tahu. Suami istri yang bicara dengan nada tinggi. Si istri kelihatan lebih galak, suami seperti sudah mengerti watak istri, tak didebatnya omelan istri, ia diam sambil membungkus tahu pesanan pelanggan.
Sateku belum matang juga, aku musti ngantri karena datangku belakangan. Tiga ibu-ibu menunggu giliran, suami-suami ngudud sambil mengucek mata sisa kantuk. Pedagang pangsit menguap lebar, dagangannya semalam laris, sisa sawi layu dan botol kecap kosong. Di kiri-kanan kulihat pedagang makin berkurang. Mereka seperti mengerti, kalau terik sudah mengintip, mereka harus siap-siap pergi, soalnya sudah ada janjian sama satpol pp.
“Pak, bu, kalau kami datang tak usah ya kami suruh berkemas. Mengertilah, kita sama-sama kerja, jadi bukan mau kami juga mengusir kalian dari trotoar. Wong toh nyatanya tak semua mampu nyewa stan di dalam.”
Dari para pedagang itu ada yang berkelakar, ada yang menggerutu, kebanyakan mafhum dengan kata-kata “kita sama-sama kerja”.
Sateku akhirnya matang juga, lima tusuk. Aku nikmati tepat disebelah got busuk. Cengkrama madura silih berganti mampir di telinga. Pedagang sari kedelai langgananku tak datang-datang. Mungkin ia sedang pulang, ke kampung. Tempat ia pulang, juga tempat berangkat mengadu untung.

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.