Apa kabar
diriku?
Sudah sejak lama tidak kusapa kau,
sebab aku terlalu mementingkan hal-hal kurang penting di luar dirimu. Maafkan
aku.
Mari kita bikin obrolan panjang,
mari kita runut jalan setapak yang mulai samar-samar dalam ingatan. Ada banyak
cerita yang mau kuceritakan dan aku ingin kamu juga menceritakan dirimu
kepadaku.
Aku akan memilih tanggal untuk itu: 9 November 2012
Hari itu, hari biru, hari senyum
kebahagiaan, juga sedikit kucicipi kesedihan. Hari dimana janji bertemu menjadi
amat dinanti. Hari dimana yang ada hanya keinginan untuk menemani, menemani
siapa? kau tak ingat? Menemani dia yang akan pergi, pergi untuk sebuah tujuan
yang mulia. Apa aku pernah memikirkan ini dengan sungguh-sungguh? Kalaupun iya,
tentu aku tidak akan merecokinya dengan masalah-masalahmu sendiri. Aku memang
egois sejak awal, aku ulangi lagi SEJAK AWAL. Apa aku pernah mendengarnya mengeluh
tentang kesulitannya untuk mewujudkan impiannya? Dia selalu hanya senyum dan
tidak tega membagi kesulitannya denganku. Disimpannya sendiri pada bilik-bilik
rahasia yang tak seorangpun diizinkannya untuk melihat. Meski untukku, kadang
diberinya lubang untuk mengintipnya. Yang disuguhkan kepadaku hanya
kebahagiaan, dibungkusnya dalam lesung pipit yang amat manis. Dan, aku sungguh
keterlaluan, aku terlena dengan apa yang diberikannya tanpa pernah mengerti
kesulitan yang dihadapinya.
Pada tanggal itu, ketika perlahan
siang bergulir menuju senja. Ketika tak sedikitpun kulewatkan pesan darinya
sebelum kepergian. Aku mengingat semuanya, semua yang telah terlewatkan sejak
malam gemetaran karena satu kata: cinta. Seperti sekarang, aku juga nyaris
mengingat semua yang sudah terlewatkan. Jika dulu karena cinta, sekarang pun
tak beda, meski wujudnya tak sama.
Aku tersenyum mengingat seringkali
mencandainya dengan keterlaluan. Haha. Kau itu terlalu polos, dulu. Aku sering
merasa bersalah telah membuatmu mengetahui banyak hal yang semestinya bisa kau
ketahui sendiri. Kau mengerti maksudku 'kan? Sebab ketika aku yang memberi
tahu, itu artinya kesalahan. Sekarang, aku tersenyum mengenangnya. Kesalahan
yang bikin tersenyum? Hmm.. entah.
Dalam angan-angan kita, banyak hal
yang belum kita ketahui, kita anggap amat berat untuk dikerjakan. Kau ingat?
bertapa kita pernah bikin percakapan yang panjang sebelum keputusanmu pergi ke seberang, disertai alasan-alasan serta
argumen-argumen yang jika sekarang kita kenang kadang menjadi lucu dan konyol.
Aku selalu tidak akan pernah memahami perasaanmu secara utuh. Tapi aku bisa
merasakannya. Dalam kebahagiaan yang pernah kau utarakan atau kekecewaan yang
amat lama kau pendam dan pada akhirnya menemukan ujungnya.
Mataku, mata perasaanku memang buta
sekaligus tak peka. Selalu kusodorkan keluhan di depanmu, karena aku tau, kau
akan menanggapinya dengan tersenyum, dan menumbuhkan ketenangan dalam diriku.
Tidak pernah kulihat dari sisi lain bahwa kau juga punya kesulitan-kesulitan yang membutuhkan perhatian dariku.
Aku berpuisi, menulis cerpen dan
berharap bisa membantu masalahmu. Alangkah bodohnya, tak perlu puisi, tak pelu
cerita-cerita. Pengertian dan perhatianlah yang mestinya kucurahkan. Aku menipu
diriku sendiri, berkali-kali dan tidak pernah berhenti sampai... kemarin.
Masih kurasaan sesuatu itu darimu,
tetap kurasakan meski lisan berucap tak! Masih kurasakan meski permintaan
ditolak. Masih kurasakan...
Diri, cukup sekian ceritaku. Lain
waktu mungkin akan kuteruskan, Ingatanku buruk, aku sering kena marah sama dia.
Dia sering kubikin ngambek gara-gara itu. Kulewatkan dua kali ulang tahunnya,
semoga tidak kuulangi, lagi.
Giliranmu...
Ceritamu membosankan! Kau tau itu?!
Sebab, semua kesalahan yang
berlalu, sebelum kau kerjakan, sudah aku tegur dirimu, kugedor-gedor
kesadaranmu, kuteriaki telinga kepekaanmu, tapi kau acuh, bebal dan tuli!
istafti qolbak...
Pernah kau tanya aku sebelum kau kerjakan sesuatu? Kau hanya mengikuti bisikan-bisikan dari dasar jurang yang sumbernya adalah keserakahan, keangkuhan serta keegoisan. Kau mau enakmu sendiri! Aku sendiri sebagai hati nurani sebenarnya amat dongkol terhadapmu, tapi mau bagaimana lagi. Diriku ini adalah bagian dari dirimu, rakyat dari titah kekhalifahan yang dilimpahkan Tuhan kepadamu, untuk kau jaga dan kau rawat.
Aku merasa amat terpaksa menjadi
bagian dirimu yang menjengkelkan itu. Tapi Tuhan menahanku untuk pergi,
disuruhnya aku menemanimu sekarang yang mulai menemukan kesadaran setelah
pingsan berabad-abad lamanya. Berterimakasihlah kepada perempuan yang namanya
disebut Tuhan dalam kalam-nya. Lewat dia, kesadaran itu dititipkan Tuhan untuk
disampaikannya kepadamu. Aku tau, memperoleh kesadaran tidak seperti memperoleh
hadiah permen manis yang menyenangkan lidahmu, kesadaran yang kau peroleh amat
kental dengan kesedihan dan rasa sakit. Tapi ketahuilah, akan kau tuai rasa
manis itu kelak, ketika bisa kau pertahankan kesadaranmu yang artinya
terjadinya perbaikan-perbaikan dalam dirimu. Akan aku temani kau semampuku, aku
tidak bisa masa bodoh terhadapmu meski kau acuhkan aku berkali-kali. Kau
campakkan aku hingga aku pun menangis tersedu-sedu di sudut batinmu.
Waktu masih berjalan untukmu, ada
pintu yang sangat luas dibukakan Tuhan untukmu, masukilah dengan kesadaran yang
kau peroleh. Jangan pernah keluar lagi, kecuali untuk mengingat kesalahan dan
belajar darinya. Itupun, menurutku kau hanya perlu melongok-longok saja.
Berhentilah tenggelam dalam
kesedihan, temukan kebahagianmu dalam kesedihanmu. Bukankah Tuhanmu berkata "Sugguh, bersama kesulitan itu
ada jalan keluar yang sudah disediakan" . Bangkitlah kau diri,
bangkitlah aku, Persoalan diluar itu yang kau cemas-cemaskan, berhentilah
mencemaskannya. Kau mencemaskan kalau-kalau dia bukan jodohmu 'kan? Ha.. ha...
ha... Tolol!
Hanya karena kau pernah
mengungkapkan perasaanmu yang kau namai cinta itu, kau menjadi terlalu angkuh
dengan keyakinanmu bahwa ia jodohmu. Dan sekarang, hanya karena ia
menolak meneruskan perjalanan salah arah yang kau yakini sebagai cinta itu
lantas membuatmu ragu-ragu bahwa ia bukan jodohmu?
Itulah satu sebab kenapa aku sebal
dan amat jengkel kepadamu. Kau kurang, amat sangat kurang mengenali dirimu
sendiri, sehingga identifikasi yang kau lakukan berujung pesimis dan keraguan.
Selami lagi dirimu sedalam-dalamnya, jangan pernah membikin kesimpulan kalau
kau belum sampai pada pengenalan diri yang sejati. Mawas diri dan
berhati-hatilah...
0 komentar:
Posting Komentar