Perbincangan


Kamu benar, Drun. Bahwa dalam suatu keadaan memaafkan itu dilarang. Aku sedang memasuki keadaan itu sekarang.

-Kesalahan yang kamu lakukan barangkali terlalu besar.

Sepertinya memang demikian, penyesalan yang menggantung di punggungku hampir tak bisa kutahankan lagi. Rasa bersalah itu seperti pelari maraton yang bergilir mengejarku. Dengan kelelahan, berbekal harapan yang samar-samar kulanjutkan juga jalanku, lariku.

-Rasa bersalah itu punya ikutan, kalau kamu mengetahuinya. Belum seberapa bebanmu itu, harus kau tanggung lagi akibat-akibat yang beratnya berkali-kali lipat dari beban yang kamu bilang menggantung barusan.

Ya, telah pula kurasai tulang punggungku mulai menggertak. Kau benar, telah pula yang kau katakan itu meloncat-loncat bergantian ke punggungku. Menimpa-menimpa dan menimpa. Pagi ini, barusan, aku mendengar lagi suaranya dengan lebih jelas, suaranya, Drun. Suaranya terdengar penuh kesibukan, aku justru tidak mendengarkan ceritanya, aku menyimak sesuatu dibalik ceritanya. Mungkin dia tidak mengetahui bahwa yang meminta dia untuk “bersuara” itu aku. Terlontar satu-satu belati-belati, menancap dan berjalan sendiri menguliti perasaanku. Kudengarkan dan kudengarkan, dan belati itu semakin menjadi-jadi seperti tak mau berhenti. Lewat juru suara, kubilang padanya untuk memberitahunya bahwa aku sedang mendengarkannya dari awal mula perbincangan. Drun, ini mengenaskan untuk diteruskan.

-Teruskan...

Kau jadi perhatian sekarang, ha?

-Bukan, aku hanya tak mau terus-terusan kau datangi dengan membawa bingkisan keluhan.

Baiklah, baiklah. Maafkan aku.

-Maaf tidak membuatmu kenyang! Teruskan saja tadi.

Setelah dia mengetahui bahwa aku mendengarkannya, dikirimkannya algojo berserta pedangnya yang terhunus. Aku tak bisa lagi menghindar. Dipanjungnya perasaanku dan jiwaku sekaligus. Mengucur deras darah dari leher perasaan yang sudah tak berkepala. Menggelinding perlahan menuju lubang tak tembus, lubang hitam yang amat kelam dan dalam. Meski begitu, dengan sisa-sisa usaha, berusaha kukais lagi kepala perasaanku, kuraba-raba sekena-kenanya. Sebab perasaanku telah buta, hanya meraba yang aku bisa.

-Kau tahu, yang kini kau rasakan itu sangat mungkin telah ia rasakan terlebih dahulu. Barangkali kepala perasaannya bahkan sudah menggelinding ke dalam lubang tempatmu meraba di tepiannya.

............................................

-Hei, tak ada cerita lagi rupanya? Apa harus kubaca ketertundukanmu ini dan kujelaskan padamu? Lho, jadinya aku yang cerita?

Begini sakit ini, karena aku mencintainya.

-Begitu sakitpun baginya, karena ia mencintaimu.

Tapi dia bilang, sudah sejak lama ia mencintai orang lain yang bukan orang lain bagiku. Dadaku hampir ambrol mendengar pengakuannya ketika itu.

-Kau pun, bukannya telah kau ambrolkan juga dadanya dengan sikapmu padanya? Kau belum mencintainya, kau hanya “mengucap” cinta padanya. Maka, jangan salahkan dia jika dia juga sekadar membalas ucapanmu dengan “ucapan” cinta. Bukan cinta yang sebenarnya.

Apakah perasaan yang kukandung di batinku dengan erat ini bukan cinta namanya? Aku sering bilang kepadanya untuk pergi tapi batinku menangis sejadi-jadi. Batinku merengek-rengek kepadaku. Aku sering bilang aku yang akan pergi, tapi sesungguhnya langkahku tak pernah terwujud, kuangkat kakiku saja aku tidak mampu.

-Ya, itu bukan cinta. Cinta tak perlu kata-kata untuk sampai kepadanya, tak perlu janji untuk meyakinkannya, tak perlu semua-mua. Jika engkau mencintainya, dengan diampun dia bisa merasakannya. Jika engkau mencintainya, tanpa berjanjipun ia akan percaya. Ini jalanmu, jalan setapakmu yang gersang dan kering karena kau tinggal melangkah ke jalan lain. Akar rumputmya merindukan telapak kakimu. Segeralah kau pijak lagi, kau injak lagi.

Kata dia, ini sudah amat sangat terlambat, Drun.

-Jangan kau percaya, kalau kau menyerah dengan keterlambatan. Mampus kau disitu! Kehidupan ini penuh episode-episode yang tak berujung, kematianpun bukan sejati ujung. Mulailah menapak lagi, jangan tergesa. Langkahkan satu-satu, perlahan.

Dengan batinku yang berserak-serak ini, aku memandangnya dengan perasaan kagum. Betapa kuat dirinya, betapa kesabarannya mensamudera, hingga apapun yang kutimpakan padanya hilang dilahap ombak. Sampai akhirnya aku menguras samudera itu dalam satu waktu. Lantas sekarang, samudera itu tinggal hanya gunung-gunung pasir tanpa air.

-Dia tetap samudera, dia tetap samudera yang sekali ini menolak sesuatu yang kamu timpakan, menolak melahapnya dengan lidah ombaknya, sebab ia ingin memberitahumu bahwa kamu harus berhenti, bahwa kamu harus menyadari. Ia bisa saja melahapnya terus-menerus. Tetapi, itu akan cepat membunuhmu, itu akan menjerusmuskanmu dalam kebutaan tanpa cahaya selamanya.

Drun, minumlah kopimu.

-Sudah habis sebelum kau mulai mengeluh tolol!

Oh...



0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.