Secuil tentang Revolusi




 Setelah membaca tentang revolusi, meski terjadi di tempat-tempat yang berlainan, selalu punya kesamaan; nyawa amat murah harganya. Seseorang dengan mudah dihilangkan jika tidak seirama dengan langkah zaman yang coba dibangun dan ditegakkan. Revolusi membutuhkan kawan dan lawan agar sikapnya tak kabur, sebab ketika revolusi telah menemukan apa yang dicari, biasanya ia jadi bermata rabun. Para revolusioner yang lantang berteriak di masa lalu, tiba-tiba akan menjadi penguasa-penguasa baru yang lupa apa yang mereka teriakkan dulu. Mereka hanya menjadi orang yang sama dengan wajah berbeda. Bahkan mungkin lebih menakutkan.
Pembunuhan, bagaimanapun tidak bisa dianggap wajar dengan alasan apapun. “Sebab jangan remehkan nyawa satu orang, jangan tidak dengarkan tangis abadi sanak keluarganya. Pernahkah kita bayangkan adegan yang berlangsung ketika kematian itu berlangsung –ketakutan, kemarahan, darah – dan sesudahnya – berapa lama istri dan keluarga si mati itu menangis – lantas bagaimana pula ragam adegan pilu itu jika yang terpenggal adalah ribuan kepala?” Begitu tanya Emha dalam Dari Pojok Sejarah –keresahannya yang ditulis dari “Negara Landa” dalam bentuk surat-surat kepada adiknya itu.
Tak banyak revolusioer yang tetap memelihara kesadarannya ketika revolusi yang digerakkannya “berhasil”. Dari yang tak banyak itu ada nama Ernesto “Che” Guevara. Che segera mencari medan baru untuk berjuang: Bolivia. Hatinya sejak muda telah peka terhadap soal-soal kemanusiaan. Mungkin ia terlalu romantik, tetapi terkadang itu diperlukan. Dan kita semua tahu akhir dari Che, ia mati dalam eksekusi. Matanya tak pernah menyiratkan takut bahkan di ujung ajalnya. Ia mungkin tak cukup punya waktu berdiskusi dengan dirinya sendiri untuk menentukan langkah yang akan diambilnya, semuanya menjadi tidak seperti yang ia inginkan. Ketika itu mungkin ia agak terkejut dengan kenyataan bahwa ia tak cukup punya kawan, tak seperti ketika di Kuba. Tetapi barangkali ia sudah tahu, kematian adalah ujung dari setiap langkah beratnya di hutan belukar. Kematian tak membuatnya hilang. Sampai kini ia tetap dikenang. Berbeda dengan Mao, Che tak sempat memelarkan perutnya dengan kekuasaan.
Revolusi, seperti ilusi, lingkaran setan yang terlihat bagai bunga tulip. Revolusi hampir selalu merenggut kesadaran. Manusia jadi lupa kepada dirinya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.