Setelah Melihatmu, Pagi Itu, Di Atap Itu




Membuatmu bersedih itu penyesalan yang tak usai-usai. Kesedihan yang berlarut larut dan belum ada tanda-tanda akan surut. Sebab senyum dan bahagiamu adalah segalanya. Maka aku menangis ketika tak kutemukan cara untuk mengubah situasi yang sedang terjadi.
Beberapa waktu yang lalu Simbah berujar,
“...harus siap bahwa hidup ini tidak sama dengan
apa yang kamu inginkan, tidak sama dengan apa yang kamu
pikirkan, bahkan hidup ini bisa saja berlaku sebagaimana
yang kamu benci.”
Gambaran itu begitu jelas dan terasa, yang sedang aku jalani sekarang adalah sesuatu yang sama sekali tidak kuingkan, bahkan terbersit di angan pun tidak. Dan ya, aku membenci semua ini. Amat sangat benci. Hanya keyakinan dan kepatuhan kepada Tuan, harapan masih kupelihara. Karena bersamaan dengan kesedihan telah ada pintu kebahagiaan terbuka.
Kesunyian amat akrab kini meskipun dalam keramaian. Kesalahan-kesalahan dari masa lalu bertebaran mengisi tiap-tiap waktu. Kalau tak karena cinta Tuan yang melimpah barangkali sudah tak bernafas hidupku, tak berdetak jantungku. Kesalahan itu amat berat kupanggul, dan wajahnya yang seram kadang datang tengah malam, membangunkanku.
Kadang menjadi pelupa itu menguntungkan, sebab teringat kesalahan tanpa bisa melupakan itu selalu menguak luka yang hampir kering. Membuatnya berdarah lagi. Yang menakutkan adalah hidup seperti berhenti. Waktu seperti tak beranjak dan aku terjebak. Sementara musti kupelihara harapan yang semakin meredup.
Jadi kau benar, Nyun ketika berujar,
“Mari, kita jalani saja”
Tak sesederhana ungkapannya, “jalan” itu harus benar-benar kulakukan.



0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.