Hujan dan Ibu


Dua pagi, kemarin dan hari ini hujan. Hujan di musim kemarau. Hujan selalu menarik perhatianku dari dulu. Ketika bocah, aku akan segera berlari menuju jalanan. Hujan-hujanan. Dan kawan-kawan akan juga melakukan seperti apa yang kulakukan. Tanpa aba-aba, tanpa pemberitahuan. Hati kita seperti terpaut pada hujan. Kita membawa bola, berjalan menyusuri pematang sawah menuju lapangan di belakang balai desa. Diselingi petir yang bersambar-sambar, kita bermain bola dengan tertawa-tawa. Saling jegal, karena lapangan memang licin. Kadang aku merasa jengkel juga kalau  dijegal dari belakang. Bukan bola yan diincar, tetapi memang kakiku sasarannya.
Kalau hujan lebat, tak perlu waktu lama air akan menggenangi lapangan. Baju sudah kotor tak karuan. Muka penuh lumpur. Kaki linu-linu karena sering bertabrakan. Tapi semua itu selalu saja masih bikin kita tertawa. Kita belum akan berhenti sebelum hujan reda dan matahari muncul kembali. Atau senja memberikan kabar bahwa kita sedang ditunggu ibu untuk pulang.
Banyak kenangan ketika hujan. Yang manis, demikian juga yang getir.

***
Dua minggu yang lalu, ketika kakak tertuaku pulang ke kampung. Cerita kakakku ketika ia sampai disana, tiba-tiba ibuku menanyakan kabarku seperti telah terjadi sesuatu kepadaku.
“Afiq, kenek opo? Gak popo bocae?
Ah, bu. Kau pasti merasakan sesuatu tetangku. Dalam darahku mengalir darahmu. Dalam desah resahku, ada nafasmu. Tentu saja engkau merasakan sesuatu tentangku. Ketika itu perasaanku tak berbentuk. Kalau ada kata yang mempunyai makna melebihi hancur menjadi debu, begitulah kiranya keadaannya.
Tak ada yang memberitahumu tentang keadaanku, tapi seringkali engkau lebih tau daripada siapapun. Sepertinya Tuhan sudah membeber rahasianya kepadamu. Yang kadang, aku tak mempercayainya jika kau mengucapkannya kala kita bersua.

***
Nafas tersengal-sengal. Lapangan becek membuat langkah jadi berat. Pakaian penuh lumpur jadi beban ketika bergerak.
Hujan berhenti. Kita menepi. Menuju kali yang menjadi sedikit tinggi dan deras airnya. Berkecipak membersihkan lumpur di baju, celana dan muka. Ada anak kodok terseret arus. Terdengar suara induknya menjerit dicekik ular di bawah pohon pisang. Tawa kita mulai mereda. Masing-masing kita kelelahan. Nafas perlahan jadi teratur. Lalu kita menemukan senyuman lagi.
Kembali menyusuri pematang. Lirik kanan kiri barangkali ada belalang genjor yang basah kuyup. Lumayan buat makan cendet di rumah. Di atas gubuk-gubuk searah senja, petani menyulut kreteknya sambil telanjang dada. Caping ia taruh di sebelahnya. Ia lepas lelah satu-satu berbarengan dengan hembusan asap kreteknya.
Banyak sawah tergenang. Banyak kenangan tersimpan.

***
Kemarin, kakakku yang di kampung nelpon. Katanya, ibu ingin bicara. Aku tunggu agak lama, ia belum datang juga. Lagi belanja, duga kakakku. Yasudah, mungkin lain kali. Aku ingin bicara berdua dengannya, bukan lewat telpon, tapi dengan berpandangan mata. Aku rindu dia.
Barangkali ia masih mengkawatirkan aku. Barangkali perasaannya masih terganggu sesuatu yang ia ingin memastikannya kepadaku. 
Kalau kukatakan aku baik-baik saja, artinya aku membohongi diriku. Kalau kuceritakan apa sebenarnya, aku tak mau nambah beban pikirannya. Sebab sudah sangat banyak yang ia pikirkan selain cuma mikirin “anakku iki kenek opo?”
Bukan sesuatu yang penting, bu. Hanya aku saja yang melebih-lebihkan. Bagi semua orang ini sesuatu yang biasa saja. Buktinya, mereka dengan enteng bilang begini begitu. Tak ada yang lebih mengertiku seperti engkau mengerti. Doakan saja ya. Ya, aku tau engkau memang telah selalu mendoakanku tanpa kuminta. Tentu saja, tanpa itu aku bakal tak tau jalan. Aku mungkin telah salah jalan, tapi kau memberiku tanda untuk kembali ke arah yang benar. Doa-doamu, bu, lentara yang menggantung tepat di depan jidatku ketika aku berjalan dalam kegelapan.

***
“Fiqqqq!!! Ndang adus kono!
Dipengéng bal-balan kok ra nggaték.
Udan-udan akéh bledék! Ndang adus kono!”

Aku akan langsung bergegas ke kamar mandi, gebyuran, sabunan, bersegera handukan. Lalu pakai sarung dan jaket. Ngeringkuk di kamar. Tidur seharian.


0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.