Mimpi (2)


Sengaja setelah subuh, aku berangkat tidur kembali. Seperti ada musik jazz klasik yang mengalun sendu tepat di gendang telingaku, membuat mataku merem-melek, sehingga kantukku tidak tertahankan lagi.
Jika kemarin adalah mimpi yang menyenangkan yang dikirim Tuhan, maka sekarang sebaliknya. Aku dipertemukan dengannya lagi, ia memakai sweater putih bermotif bintang, memakai rok panjang warna biru, dan kerudung berwarna putih. Ia datang dari atas tangga, menggendong seorang anak kecil yang amat kukenal, mereka tertawa bersama. Aku seperti datang dari lorong waktu yang kumuh, pakaianku serba hitam, dari bawah tangga, aku berjalan naik hendak menghampirinya. Melihat senyumnya.
Seingatku aku tidak pernah melangkah, tangga itu seperti lift di toko buku yang biasa aku sambangi, namanya litf, ia berjalan otomatis. Semakin dekat aku dengannya, semakin gugup aku, tak pernah kulepaskan pandanganku darinya. Tetapi... sampai kami berpapasan, ia sama sekali tidak menoleh ke arahku, ia arahkan pandangannya ke arah jauh, di bawah tangga yang sedang kami naiki, ia bergegas turun menyapa orang itu, lelaki itu, yang juga amat kukenal. Kuambil kerpusku dari saku celana, kupakai, kusembunyikan wajahku dengannya.
Mimpi ini, bagai nyata kurasai. Degup jantung masih sama ketika aku terbangun. Aku jadi mengingat Maya yang bermimpi dan tak mau bangun kembali. Pada hari ketika Ellyas Pical vs Ju Do Chun bertanding di atas ring. Maya tertidur di tengah-tengah pertandingan yang semarak didengarkan masyarakat Indonesia dari RRI itu, ia kaget ketika adiknya menggerutu dan membangunkannya.
“Ah, dasar, baru ikut-ikutan ngejagoin, eh malah kalah, Indonesia memang selalu kalah”
“Hah, Elly kalah ya? Tanya Maya tergeragap.
Adiknya Cuma memberi jawaban lewat mukanya yang kusut, Maya menata lagi bantalnya. Ia tidur kembali, diteruskannya mimpinya yang diputus oleh adiknya. Di dalam mimpinya Ellyas Pical menghajar Chun bertubi-tubi lewat hook-hook kirinya yang ampuh, Elly terus mendesak Chun sampai di sudut ring, dilancarkannya pukulan-pukulannya dengan amat gencar. Dagu, pelipis, pipi, dan sebelah mata Chun kena hamtam berkali-kali sebelum gong berakhirnya ronde ini berbunyi. Penonton bersorak tak henti-henti, di sudut ringnya, kepala Elly yang penuh keringat diusap-usap oleh Ibunya. Sementara di sudut ring Chun, pelatihnya menggeleng-gelengkan kepala. Chun tidak bisa bertarung lagi! Ellyas Pical Menang!
Maya tersenyum, tetapi itu senyum terakhirnya. Dengan cara apapun, keluarga Maya sudah mencoba membangunkannya. Kata dokter ia terkena serangan jantung. Keluarga tak percaya, sebab Maya baik-baik saja sebelumnya. Tetapi, memang hanya Maya yang bisa merasakan atmosfer yang amat menegangkan di dalam mimpinya. Maya tak mau kehilangan senyum kemenangan itu dengan bangun dari tidur, sebab ketika bangun, Ellyas Pical ternyata kalah dengan muka lebam memenuhi wajah.
Begitu juga aku, ketika mimpi itu indah dan membuatku tersenyum, aku menginginkannya untuk tidak terlampau cepat berlalu, namun jika seperti semalam, aku ingin langsung saja terbangun. Masih tersisa degup jantung  mimpi semalam, masih tersisa perasaan aneh yang menyakitkan karena mimpi semalam.
Ah, aku jadi ingat ibuku yang selalu bilang “jangan pernah tidur setelah subuh!”
Iya, Bu. Aku yang salah...

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.