Sengaja setelah
subuh, aku berangkat tidur kembali. Seperti ada musik jazz klasik yang mengalun
sendu tepat di gendang telingaku, membuat mataku merem-melek, sehingga kantukku
tidak tertahankan lagi.
Jika kemarin
adalah mimpi yang menyenangkan yang dikirim Tuhan, maka sekarang sebaliknya. Aku
dipertemukan dengannya lagi, ia memakai sweater putih bermotif bintang, memakai
rok panjang warna biru, dan kerudung berwarna putih. Ia datang dari atas
tangga, menggendong seorang anak kecil yang amat kukenal, mereka tertawa
bersama. Aku seperti datang dari lorong waktu yang kumuh, pakaianku serba
hitam, dari bawah tangga, aku berjalan naik hendak menghampirinya. Melihat senyumnya.
Seingatku aku tidak
pernah melangkah, tangga itu seperti lift di toko buku yang biasa aku sambangi,
namanya litf, ia berjalan otomatis. Semakin dekat aku dengannya, semakin gugup
aku, tak pernah kulepaskan pandanganku darinya. Tetapi... sampai kami
berpapasan, ia sama sekali tidak menoleh ke arahku, ia arahkan pandangannya ke
arah jauh, di bawah tangga yang sedang kami naiki, ia bergegas turun menyapa orang itu, lelaki itu, yang juga amat kukenal. Kuambil kerpusku dari
saku celana, kupakai, kusembunyikan wajahku dengannya.
Mimpi ini,
bagai nyata kurasai. Degup jantung masih sama ketika aku terbangun. Aku jadi
mengingat Maya yang bermimpi dan tak mau bangun kembali. Pada hari ketika Ellyas
Pical vs Ju Do Chun bertanding di atas ring. Maya tertidur di
tengah-tengah pertandingan yang semarak didengarkan masyarakat Indonesia dari RRI
itu, ia kaget ketika adiknya menggerutu dan membangunkannya.
“Ah, dasar,
baru ikut-ikutan ngejagoin, eh malah kalah, Indonesia memang selalu kalah”
“Hah, Elly
kalah ya? Tanya Maya tergeragap.
Adiknya Cuma memberi
jawaban lewat mukanya yang kusut, Maya menata lagi bantalnya. Ia tidur kembali,
diteruskannya mimpinya yang diputus oleh adiknya. Di dalam mimpinya Ellyas
Pical menghajar Chun bertubi-tubi lewat hook-hook kirinya yang ampuh, Elly
terus mendesak Chun sampai di sudut ring, dilancarkannya pukulan-pukulannya
dengan amat gencar. Dagu, pelipis, pipi, dan sebelah mata Chun kena hamtam
berkali-kali sebelum gong berakhirnya ronde ini berbunyi. Penonton bersorak tak
henti-henti, di sudut ringnya, kepala Elly yang penuh keringat diusap-usap oleh
Ibunya. Sementara di sudut ring Chun,
pelatihnya menggeleng-gelengkan kepala. Chun tidak bisa bertarung lagi! Ellyas
Pical Menang!
Maya tersenyum,
tetapi itu senyum terakhirnya. Dengan cara apapun, keluarga Maya sudah mencoba membangunkannya. Kata dokter ia terkena serangan jantung. Keluarga
tak percaya, sebab Maya baik-baik saja sebelumnya. Tetapi, memang hanya Maya yang bisa
merasakan atmosfer yang amat menegangkan di dalam mimpinya. Maya tak mau
kehilangan senyum kemenangan itu dengan bangun dari tidur, sebab ketika bangun,
Ellyas Pical ternyata kalah dengan muka lebam memenuhi wajah.
Begitu juga
aku, ketika mimpi itu indah dan membuatku tersenyum, aku menginginkannya untuk
tidak terlampau cepat berlalu, namun jika seperti semalam, aku ingin langsung
saja terbangun. Masih tersisa degup jantung mimpi semalam, masih
tersisa perasaan aneh yang menyakitkan karena mimpi semalam.
Ah, aku jadi
ingat ibuku yang selalu bilang “jangan pernah tidur setelah subuh!”
Iya, Bu. Aku yang
salah...
0 komentar:
Posting Komentar