Sakit

Sakit memberiku beberapa keuntungan; waktu membaca dan merenung yang panjang. Kuselesaikan membaca Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2010 yang melambungkan imajinasiku ke ruang-ruang yang sebelumnya belum pernah kudatangi, mengenalkanku pada suara-suara asing yang ternyata indah serta cara memandang hidup yang amat sangat luas. Satu-persatu cerpen membawa renungannya sendiri-sendiri untuk disajikan kepadaku. Dunia fiksi yang tak sepenuhnya fiksi sebab berangkat dari sesuatu yang faktual dari penulisnya masing-masing.
Aku juga dapat separuh My Name is Red-nya Pamuk yang musti kutiti pelan-pelan kalimat-kalimat yang dituliskannya dengan amat padat serta semuanya berasal dari sudut pandang orang pertama. Ada anjing, koin emas, setan dan mayat yang menceritakan dirinya disana. Ada kisah cinta yang muram disana. Ada pembunuhan yang suram, yang berselimut kabut amat pekat dan kental serta berlapis-lapis.
Apa yang aku rasakan, sedikit banyak bertaut dengan cerita yang kubaca. Bahkan ada yang “pas” waktu aku membuku buku Ayu Utami berjudul “Maya” dan terselip pembatas bukunya yang di ujung bawah tertulis Jika cinta menempuh jalan yang salah, jangan putus asa terhadap cinta”. Aku belum membaca bukunya. Tapi aku tersenyum membaca tulisan itu. Tanganku seperti dituntun untuk membuka buku itu, walaupun hanya sekedar untuk mengintipnya.
Dalam kepalaku melintas-lintas kenangan dengan seseorang yang aku sayangi, tak pernah berhenti seperti kereta dengan jadwal maraton yang saling sambung-menyambung. Aku kesampingkan sebisanya untuk memberi ruang pada pikiranku tentang sesuatu yang lain.
Kugunakan untuk membaca buku sepanjang pagi sampai larut malam. Aku hanya membaca, tidur, bangun, membaca lagi dan sesekali dibawakan dan diingatkan untuk makan oleh teman-teman.
Satu alasan aku menyukai sakit adalah aku punya banyak waktu untuk membaca meski di satu sisi akan sangat membosankan beberapa hari saja hanya bisa berbaring dan pergi ke kamar mandi. Aku juga bisa mengukur “kenakalan-kenakalan” dalam diriku. Ketika sakit, apa mereka masih juga “nakal”? Ternyata, sesekali masih sama saja.
Semua orang punya imajinasi, tetapi mungkin hanya sebagian orang yang membiarkan imajinasinya berjalan seliar mungkin tanpa berusaha membatasinya. Yang kumaksud “kenakalan-kenakalan” tadi salah satunya adalah kenakalan imajinasiku. Membaca buku memberiku banyak bahan untuk berimajinasi. Dari yang baik dan sopan sampai ke yang buruk dan jorok.
Kebebasan berimajinasi aku pikir memang anugerah dari Tuhan. Kebebasan yang Ia berikan bukanlah agar kita berimajinasi semau kita, tetapi agar kita menemukan batasan-batasan dari kebebasan yang kita peroleh.
Cerpenis Hamsad Rangkuti mengaku bahwa berimajinasi atau ngelamun adalah modal terpenting untuknya menulis cerpen. Ia sering nangkring di satu pohon lalu membebaskan lamunannya sebebas-bebasnya untuk merangkai sebuah cerita yang kemudian akan ditulisnya.
Aku jatuh cinta kepada cerpen. Aku pernah menulis beberapa cerpen yang punya nasibnya sendiri-sendiri. Aku pernah menulis dengan iseng yang lalu bernasib mujur dibukukan dalam antologi, aku pernah menulis cerpen untuk pacarku yang lalu dimuat di majalah (karena redakturnya aku sendiri) dan cerpen-cerpenku yang lainnya yang tak layak terbit. Tapi aku menyayangi cerpen-cerpenku yang punya ceritanya sendiri-sendiri dalam proses kelahirannya.
Aku tidak tahu sedang menulis dengan fokus apa sekarang. Aku memulainya dengan sakit, membaca, berimajinasi kemudiam jatuh ke cerpen.
Kau tahu, aku punya mimpi yang amat beragam gara-gara bacaan yang kubaca melambungkan imajinasiku. Kadang mereka sama sekali tidak berhubungan. Aku membaca cerita tentang seseorang yang mengelana untuk mengajarkan “cara berdoa yang benar” karena dia meyakini bahwa berdoa dengan benar adalah sumber dari kebahagiaan. Tetapi aku bermimpi bertemu dengan ibu guru TK-ku yang belum lama meninggal. Kadang bertemu dengan kekasihku yang tersenyum. Kadang aku mimpi basah tanpa kuketahui siapa yang menyebabkanku sampai “basah.”
Tidak selalu, kadang mimpi juga pararel dengan buku yang kubaca. Tapi seringkali tidak. Seperti cerpen karya Mardi Luhung yang lewat tokoh aku meyakini bahwa sakit tidak ada hubungannya dengan mati. Tokoh aku yang divonis 3 bulan lagi akan mati waktu usianya masih 27 tahun ternyata hidup dan tak mati-mati sampai usianya 70 tahun. Ia malah melihat dan mendengar kabar kenalan serta kerabatnya yang dulu menghiburnya ketika divonis, mati duluan bergiliran dengan sebab-sebab yang beragam. Ia “lebih kuat dari mati”. Lelaki yang kerongkongannya buntu sehingga nyawanya tidak bisa keluar dan dikeluarkan.
Ohiya, karena selama sakit kugunakan untuk membaca. Aku jadi gatal untuk menulis. Apa saja ingin kutulis. Ada satu yang kurenungkan matang-matang: aku harus mulai serius menulis, cerpen dan puisi. Tentu nanti tidak akan kuposting dulu di blog ini. Kalau di blog kan khusus tulisan ngasal. Tapi meskipun ngasal, aku nulisnya juga dari hati. Dari mata air kejujuran batinku.
Setelah ini, jangan kaget ya kalau kau baca cerpen dan puisi tulisanku dimuat di koran-koran. Honornya kan nanti bisa buat makan dan beli buku sama ngasih sangu ortu. Itung-itung juga nanti ditabung buat persiapan nikah.
Kira-kira “dia entah siapa” nanti minta mahar apa ya?
Sebuah cerpen atau pusi, mau?





0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.