Wahai
kekasih, yang setiap hari engkau perhatikan setiap gerak-gerikku, yang setiap
waktu engkau curahkan cintamu dari lubuk hati yang paling dalam untuk kau
siramkan dari ujung rambut sampai telapak kakiku. Sudah beraparibu, berapajuta,
berapamilyar kali kusakiti hatimu yang penyanyang itu?
Wahai
kekasih, yang rembulan wajahmu, yang samudera kasih sayangmu, yang gunung
kesabaranmu, yang cakrawala pengertianmu. Masih bersediakah engkau memelukku? Masih
berkenankah kucium tanganmu? Masih bersediahkah kupanggail “kekasih...”
Kekasih
kinasih gusti, kekasih yang selalu saja kusisih-sisihkan, kekasih yang
kuhadirkan hanya ketika sedih, sebab kegembiraan membikinku lupa pada cinta,
pada cinta yang sesungguhnya.
Alangkah
tak berharga hidup, jika rindu kepadamu redup. Jika harapan bertemu denganmu
tak memenuhi degup, jika waktu
kusia-siakan tanpa mengabadikan namamu pada seluruh gerak hidupku.
Kekasih,
ketika engkau hadir, mata ini buta sebab terlampau banyak kebodohan yang
nyumpal di pelupuk. Telingaku tuli mendengar suaramu yang melampaui merdu,
sebab bejubel cukil watu-cukil watu kebebalan menyumbat telingaku.
Semoga
sahabat karibmu, Khidir tidak memelorot celanaku aibku-seperti ketika tiba-tiba ia cekik anak kecil pada masa lampau ketika
bersama Musa-hingga terkuak seluruh borokku di depan matamu. Alangkah malunya
aku, alangkah malunya aku...
Kekasih,
sembunyikan aku di bawah lengan bajumu, di bawah lengan cintamu...
0 komentar:
Posting Komentar