Menulis yang Teringat

Ada yang pernah berkata kepadaku,
“Bersiaplah, dan senatiasalah bersiap dalam menghadapi hidup, sebab bisa jadi kehidupan berjalan berlainan dengan mimpimu yang sudah mapan. Kehidupan menampakkan wajahnya yang paling asing di depanmu, merenggut semuanya yang sudah kauyakini milikmu. Ia seperti berjalan kebalikan dengan semua yang sudah kau rencanakan.”

Tidak ada kepastian dalam hidup. Tidak ada. Keyakinan ini kudapatkan belum lama disebabkan oleh suatu peristiwa yang lewat dalam kehidupanku. Dulu pun aku menyakini bahwa semuanya adalah misteri, seiring waktu yang terus menerus melangkah tanpa pernah menoleh dengan membawa segala peristiwa di punggungnya, aku sempat menguak tabir-tabir misteri yang kusangka akan berakhir dengan kepastian. Tapi ternyata bukan.
Keyakinan tentang kepastian yang aku pelihara berhari-hari sampai lewat dua tahun, ternyata bisa hilang tak bersisa tanpa memerlukan waktu yang sama ketika kupelihara. Aku hampir tak percaya dan terus tak percaya. Tapi begitu yang keluar dari bibirnya.
Mungkin karena kurenggut juga keyakinannya, jadi dia bisa dengan ringan menghapus keyakinan yang kutitipkan kepadanya.
Aku tidak mengerti sebab apa aku masih belum bisa melepasnya. Melepas keyakinan yang sudah dianggapnya bukan apa-apa dan mungkin tak lagi berarti. Apa karena aku pihak yang salah?
Aku sering tergoda untuk menanyakan apakah yang diucapkan adalah sungguh-sungguh sebuah kejujuran ataukah selainnya. Tapi apa hakku merasa curiga. Mungkin karena diam-diam aku berharap dia berbohong atas apa yang diucapkannya.
Ini sesuatu yang klise ketika aku mengukur segala sesuatu berangkat dari diriku sendiri. Bahwa kenangan tentangnya sudah mukim pada diriku, bahwa segala yang sudah terlewati seperti terabadikan dalam ingatanku, bahwa senyumnya seperti senantiasa mekar hanya ditujukan untukku, bahwa untukku dilakukannya sesuatu yang merepotkannya demi menyenangkanku. Aku lupa, bahwa yang belaku bagiku, tak harus berlaku untuknya. Yang kukenang tak harus ia kenang juga. Yang abadi bagiku tidak menjadi haram untuk terbakar dan hangus baginya.
Sikapku yang egois seringkali tak kusadari. Di dalam anggapan seperti itupun, kuinginkan perasaannya sama dengan yang kupunya.
Rasa sakit yang kurasakan memberitahuku rasa sakitnya. Rasa sakit membuatku mengerti meski tidak seutuhnya. Rasa sakit, membuatku semakin menyayanginya. Rasa sakit menjelma alarm yang tak jemu-jemunya berbunyi, seakan-akan berkata “jangan pernah sakiti dia lagi.”
Aku mengingat kata-katanya bahwa kesempatan, kesempatan apapun senantiasa terbuka. Ketika kukatakan aku tak bisa, ia bersikeras aku bisa.
Jadi, apa artinya?
_

belajar menulis puisi
dari cinta
mengeja satu dua kata
menyusunnya dengan sederhana
kupilih kata merpati
untuk cintanya
yang tulus dan suci

belajar menulis puisi
                           lagi
dari patah hati
retakan-retakan ngangga
yang berusaha kurekatkan
aku terbakar api
hangus jadi sekedar debu
kukais-kais lagi diriku
sebagian terbang
diseret angin
nyangkut di sayap camar
sebagian jatuh
di sawah pak tani
menyuburkan tanamannya
memberinya panen raya
lalu kudapat senyum simpul
dari pacul
nangkring dipunggung pak tani









0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.