Mimpi (5)

Setelah berlalu beberapa minggu, aku seperti ditarik lagi pada sehari setelah kejadian itu. Aku seperti hanya berputar-putar di dalam labirin yang menjebak yang aku tidak tau jalan keluarnya. Seringkali aku tersenyum tanpa alasan, tertawa tanpa sebab, meskipun lebih jarang menangis.
Mimpiku, ujung dari mimpiku selalu saja menyedihkan sehingga membuatku terbangun dengan nafas tak beraturan. Ada baiknya memang, aku jadi terbangun sebelum adzan subuh berkumandang. Aku jadi lebih awal berkunjung ke kamar mandi, berkumur, membasuh wajah, serta sekalian berwudhu. Kemudian dengan terkantuk-kantuk aku akan mengetuk pintu Tuhan. Dengan menggeremang kusampaikan doaku satu-satu. Kubaca shalawat cinta kepada baginda nabi sebagai pemula. Kumintakan kesejahteraan untuk kedua orangtua, keluarga, serta kawan-kawan tercinta. Dan selalu terselip doa untuknya, semoga senantisa Tuhan jaga dan cinta.
Apakah doa orang ngantuk akan dikabulkan? Aku tidak pernah meragukan. Doa orang bisu pun bisa dipahami-Nya. Urusanku berdoa, urusan mengabulkan itu urusany-Nya. Urusanku selesai, urusan-Nya belum, ia berhutang kepadaku. Haha.
Kita terlahir di dunia dengan apa-apa yang sudah dipilihkanNya
Ya, aku terlahir tanpa bisa memilih dari orangtua mana. Tapi aku kira setelah dewasa dengan akal yang kita punya, Tuhan memberi sedikit ‘takdirNya’ untuk kita pinjam dan dayagunakan. Maksudku manusia diberi kemungkinan untuk menentukan hidupnya meski tidak seutuhnya. Tuhan memberikan fasilitas yang lengkap untuk itu. Tuhan memberi kita kemungkinan, untuk itu ada sesuatu yang bernilai dosa dan pahala. Tuhan bikin pagar, kita dikasih akal agar kita tahu bahwa yang di luar pagar tidak perlu kita datangi dan pergauli. Kalau cuma ngintip tanpa ngicip boleh lah. Meskipun dalam satu kasus, Tuhan juga bilang “mendekat pun jangan”
Aku ini bandel, sering keluar masuk pagar. Padahal pakaian yang kukenakan sobek tak karuan ketika memaksa menaikai pagar, dan sekujur tubuhku juga dipenuhi luka-luka. Pagar itu seperti dipenuhi duri dan pisau yang bisa menyanyat sendiri. Tapi sesekali, yang tampak di luar pagar itu amat mempesona dan menggoda. Dan ketika sudah bersusah-susah kulewati pagar itu, yang kulihat hanya kekosongan yang gersang. Aku kembali dengan tertundak, dengan pakain compang-camping dan muka kusut. Kuketuk pintu pelan-pelan karena malu. Kuketuk pintu karena aku tak mungkin naik pagar lagi sebab tenagaku sudah habis terkuras. Tak sampai satu detik, pintu terbuka. Seorang –entah lelaki atau perempuan- menyambutku dengan wajah berseri-seri. Diusapnya dahiku perlahan sambil tersenyum. Aku terbuai hingga aku merasa bahwa semua luka-luka sudah tak terasa. Semua luka-luka itu hilang. Kulirik ke bawah, baju yang kupakai tadi juga sudah berganti dengan baju yang amat indah. Sederhana tetapi amat indah.
Aku mendongak, memejamkan mata, dalam hati berdoa. Aku mengingat sebaris kalimat darinya, bukan dari-NyA. Masih banyak alasan untuk tersenyum. Dan harapan, tidak akan pernah terpenggal kepalanya. Nadinya masih akan mengalirkan darah ke jantung jiwaku.

如果真有爱,真有缘分,自然会相见


Semoga ini bukan mimpi (lagi), Tuhan...



0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.