Seperti di
belakang rumah, suasana pagi yang ramai dengan kicau burung. Hanya saja tak ada
kali tempat burung-burung biasa minum sebelum berangkat mengejar senja. Juga,
bedanya, burung-burung pagi ini bersangkar, burung-burung di belakang rumah di
kampung merdeka. Bebas sebebas-bebasnya mau kemana, makan dari kerja sendiri,
ada rasa was-was ketika meninggalkan anak-anak di sarang dengan cicit-cicit
mereka yang juga adalah doa bagi bapak ibunya.
Entah apa yang
mereka kicaukan. Rindu atas kebebasan atau cuma adu merdu. Kadang,
ketika rasa nyaman sudah mengalahkan keinginan untuk mandiri, dilepas pun
burung-burung yang berkicau dari sangkarnya itu tak mau beranjak. Ia tak mau,
mungkin juga tak tau cara cari makan sendiri.
Kehidupan di
sangkar disangka dunianya, cakrawala disangkanya ruang hampa yang tak perlu
dijelajahi sayapnya. Kicau mereka untuk majikan yang kasih makan. Bukan ungkapan
cinta dan kasing sayang.
Pagi, pada
masa lalu di kampung, kali mengalir tenang seperti simbah dengan terwe dan
kopinya. Embun masih menggeliat manja di tepian, memeluk rerumputan dan bunga
putri malu yang duri-durinya bisa bikin kamu nyegir kesakitan.
Pagi ini,
selokan mampet. Sampah tetangga habis kenduri semalam dibuang sembarangan. Embun
diusir asap motor. Tapi alhamdulillah, Pak Min masih bisa nyantai menikmati rokoknya
di atas becak.
Aku menulis. Tentang
pagi, burung dan selokan. Setelah ini tentangmu...
0 komentar:
Posting Komentar