Mimpi (3)

Aku masih berfikir seperti apa aku dalam anggapannya. Seperti apa aku dalam fikirannya. Tak henti-hentinya kukhawatirkan bahwa sesungguhnya tak ada lagi kesempatan untukku memiliki senyumnya, tawa dan candanya. Aku khawatir kehangatan yang masih menghuni dada ini akan memudar seiring waktu yang rentan merebut ingatan.

Ketika kau telah merasa aman, itulah saat dimana dirimu berada dalam situasi paling rentan.

Aku mengalaminya, aku mengalami situasi yang  persis seperti kata-kata seorang samurai pada kawannya itu di akhr abad ke-16. Aku merasa telah “aman” bersamanya tetapi itu sama dengan seribu tombak yang menghujam ke arahku hingga tanpa terasa genggaman tangannya terlepas dari tanganku.
Barangkali, setiap hari, aku akan bermimpi buruk. Semacam sekuel. Hollywood selalu membikin sekuel jika film yang dirilisnya laku keras di pasaran. Barangkali kisahku ini laku kujual, bagaimana menurutmu? Coba kasih judul yang keren?

“Nightmare in every Night”

Mirip iklan pasar malam!
Baik-baik, menjual kisahku ini kupikir tidak perlu dan sepertinya juga tidak bakal laku. Kisah nyata yang dieksploitasi untuk mendapatkan uang itu menggelikan rasanya. Lagipula kisahku belum berakhir. Durasinya belum berjalan separuhnya, bersabarlah menunggu. Siapa tahu akan happy ending.

Kau sedang bicara dengan dirimu sendiri?
Ya, kau pikir dengan siapa?
Ah, ya, aku ingat. Karibmu hanya dirimu sendiri.
Ya, kau itu!
Ah, ya, aku!
Dasar tolol!
Kau yang tolol, barusan kau maki dirimu sendiri, goblok!
Hahaha...
Masih kau khawatirkan dirimu sendiri?
Ya, aku sudah berlaku bodoh.
Mungkin memang tidak bisa dihapuskan, masa lalu itu, semuanya yang sudah terlanjur menjadi milikmu. Kau tidak bisa memilih yang baik-baik saja dalam hidup. Kau juga harus belajar menelan kepahitan sebagai keniscayaan. Yang penting kan kesungguhanmu untuk terus berproses menuju kebaikan.
Kau menceramahiku lagi tolol!
Ah, sudahlah...
Bukan begitu, kau mengingatkaku padanya. Dia juga sering menasehatiku, aku suka ketika dia tanpa sadar bilang sesuatu yang sok-sok begitu.
Hei, dia bukan sedang sok!
Iya iya, aku tau. Soalnya aku sering mencandainya, kupanggil dia bu nyai.
Dia marah?
Enggak tau, yang kutau dia hobi manyun!
Oh, makanya kau panggil dia...
Ya, itu, nggak perlu disebut.
Kenapa?
Bikin sensi, jadi keinget kenangan-kenangan.
Dasar cengeng!
Biar ah!



0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.