Mbah Mudi

Kemarin, pukul 4 sore, lagi-lagi datang kabar kematian. Mbah Mudi, guru madrasah sekaligus kawan ayahku meninggal dunia setelah beberapa tahun bergelut dengan penyakitnya. Dua atau tiga tahun terakhir matanya hanya bisa melihat segalanya berwarna hitam, gelap dan kesepian. Tapi, tidak ada yang tahu batinnya, di dalam kesepiannya mungkin Mbah Mudi merasakan “kebersamaan” yang sejati. Dalam gelap yang serba hitam ditemuinya warna-warni melebihi warna pelangi.
Saat usiaku tujuh hingga sepuluh, nyaris setiap pagi aku bertemu dengannya bersama teman-teman sekelas. Suaranya yang keras dan tidak terlalu merdu itu seringkali sampai terdengar di serambi masjid samping sekolah ketika ia mengajar. Hal ini Kadang bikin lek-lek penjual jajan yang mangkal di depan masjid ngrasani. Penjual sayur yang tiap pagi lewat sudah apal, jadi tidak terlalu kaget.
Dasar masih bocah, aku dan teman-teman selalu tidak sabar menunggu bunyi bel ngaso. Karena sudah suntuk dijejali pelajaran-pelajaran yang hampir semuanya “bergenre rock” dari Mbah Mudi, anak-anak mulai bikin ulah; bisik-bisik antar teman sebangku, klotek’an nyanyi lagu Jamrud & Boomerang, teman perempuan khusyuk ngerumpi, ya, dari masih bocah perempuan sukanya sudah ngerumpi! Maka Mbah Mudi tak ubahnya radio bujat yang terus saja “berbunyi” sementara pendengarnya sama sekali acuh. Dan kalau sudah begini, biasanya ia akan menggebrak meja sambil membentak “Iso meneng tora?!”. Seketika suasana jadi sesepi kuburan di malam hari. Semuanya diam dan menunduk. Tapi ini tidak belangsung lama, bocah-bocah yang dibentak itu akan mulai kisruh lagi, sambil menunduk kita mulai injek-injekan kaki sambil cekikikan. Mbah Mudi sepertinya lelah dengan murid-muridnya ini, maka dia akan keluar kelas sambil menyulut rokoknya.
Mendengar kabar kematiannya kemarin, ingatanku langsung kembali ke masa bocah, bocah semasa sekolah dengan guru tunggal macam zaman demokrasi terpimpin. Ya cuma Mbah Mudi itu guru satu-satunya selama 3 tahun awal di madrasah. Kalau saya pikir sekarang, kok ya biasa-bisanya dulu itu ngajar IPA, Matematika, IPS, dll sekaligus. Saya membayangkan diajar bahasa Inggris sama beliau, mungkin akan sangat mengasyikkan. “One, two, three” bacanya: one (bukan wan) tuwo, tri. Tapi sepertinya beliau memang lebih fasih berbahasa arab. beliau kan juga khotib jum’at yang paling di gemari kawula muda karena khotbahnya amat singkat dan itu-itu aja. Buku rujukannya sampai lusuh tak karuan. Tapi selalu penuh cinta dalam menyampaikan.
Hmm, selamat jalan Mbah. Semoga kelak kita bertemu di surga bareng Kanjeng Nabi Muhammad. Kita ngopi+ngudud bareng nanti disana. Kalau dulu kan pasti sampean seneni, sampean adukan ke bapak saya. Nah, kalau sudah di surga kan ngopi+ngudud bebas. Dipangku bidadari lagi. Hehe. Sekalian kita bikin warkop nanti yang pastinya lebih rame dibanding warkopnya Mbah Harun.

Salam sayang dan cinta untukmu, sampai jumpa...

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Menelan kepahitan untuk disuguhkan menjadi sesuatu yang manis.